Rabu, 16 Mei 2012

Antropologi Agama


Kajian Antropologi Agama


Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
Ketiga teori; strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Australia sampai ke agama yang well-structured dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru. Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah “struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral.” Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat.
Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial. Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut.
Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit. Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual utama, cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan― misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis,―yang berakar dari tradisi Durkheim―ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern. Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika.
Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama―aspek idealisme―mempengaruhi perilaku sosial manusia. Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting. Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur’an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur’an seringkali menggunakan “orang” untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur’an menunjuk pada konsep “muttaqien“, untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur’an menggunakan kata “orang sabar” dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur’an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan. Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan (baca agama) dalam realitas empiris.
Kenyataan bahwa realitas manusia―yang tercermin dalam bermacam-macam budaya―beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu (little tradition) sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama (great tradition).


Kajian Islam Di Asia Tenggara

Satu hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim Indonesia terhadap kenyataan sosial dari masyarakat Muslim di dunia sangat kurang. Kalaupun kita mengaku kenal dengan Muslim di wiliyah lain, pengetahuan mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka adalah sesama Muslim. Tetapi jika ditanyakan tentang keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia kurang memperhatikan masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya saja bagaimana keadaan Islam di Iran dan bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya Persia, kurang sekali dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup banyak. Buku-buku yang ditulis oleh antropolog tentang mereka cukup banyak. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan perspektif cross culture dibutuhkan untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas.
Kajian agama dalam perspektif lintas budaya sangat berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas budaya juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril dari pengaruh budaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya di sini akan di bahas Islam di Asia Tenggara.
Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu area kajian, Islam di Asia Tenggara dan Indonesia khususnya pada awalnya tidak menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam perkembanngannya, dengan memakai ukuran apapun Islam di Asia Tenggara merupakan suatu komunitas Muslim penting. Tidak saja karena jumlah penduduk Muslim yang hampir separuh dari penduduk dunia Islam―dengan Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta―tetapi juga karena perkembangan Islam di Asia Tenggara termasuk paling mengesankan. Jika pada dekade 1980-an dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik sama sekali―misalnya diungkapkapkan oleh Denys Lombard―ataupun dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal―John L. Esposito―ataupun dianggap sebagai bukan Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu menonjol, sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus.
Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian. Pertama, perkembangan Islam di Asia Tenggara mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana global dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa dikatakan sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan ahli-ahlinya yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara dengan ide-ide gender, demokrasi, civil society ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling inten mengikuti perkembangan ide-ide global tersebut. Kedua, corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima ide-ide ilmu sosial yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak teralineasi dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di wilayah Asia Tenggara tersebut diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks yang empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya di Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut aktif terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini. Ketiga, Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai Islam lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara budaya lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus membentuk suatu komunitas religious.
Memang keunikan Islam di Asia Tenggara memberikan citra yang kurang jika dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua franca bagi komunikasi Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi Melayu―membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh. Namun dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme yang memberikan peranan besar terhadap local knowledge membuat Islam di Asia Tenggara menjadi perbincangan yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan intelektual Muslim Asia Tenggara yang toleran menerima bahkan tidak jarang yang menjadi pembela ilmu-ilmu sosial Barat menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dan katakanlah modernisme. Oleh karena itu kajian yang mendalam tentang perkembangan Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama komunitas Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat penting.
Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang Islam di Asia Tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah sekian lama berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku Melayu sebagai “menjadi Melayu.” Kedua, beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang ada di Asia Tenggara dapat dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko―dan kemudian dia menulis suatu buku yang bagus tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial―mengatakan bahwa perkembangan Islam dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial; historical experience dan gerational location (yang kedua ini dia pinjam dari Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang melihat bahwa wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan dari suatu kondisi sejarah lingkungannya, Eickelman menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan perlunya memahami suatu realitas sosial dari sudut experience (pengalaman) dimana orang tersebut merasa, memahami dan mengamalkan suatu agama. Jadi memahami suatu lokal Islam di suatu tempat harus mempertimbangkan sejarah maupun pengalaman subjek yang mengalaminya. Sementara itu corak berpikir serta pengalaman sosial juga sangat dipengaruhi oleh suatu generasi dimana ia hidup. Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang Maroko dikuasai oleh wacana Sufi (dalam istilah lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku keagamaan di Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi. Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Ketiga, sebagaimana Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam yang begitu banyak dikutip, utamanya kritik tajam dia terhadap Clifford Geertz, mengusulkan suatu kajian Islam lintas wilayah dan budaya. Artinya bahwa keberadaan Islam yang menyebar dari Maroko sampai ke Mindanao adalah sebuah tantangan bagi para pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan fenomena tersebut. Tidak saja dari sudut penyebarannya, melainkan dari sudut wujud lokal Islam yang menjadi ciri khas dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa Islam di Spanyol telah mewariskan suatu etika religious yang kental dalam proses pemunculan karya seni, sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya puisi-puisi indah tentang cinta ketuhanan. Hodgson berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam itu tersembunyi suatu benang merah yang menyatukan Islam.
Kajian tentang agama dan budaya di Indonesia tentunya dapat mengembangkan konsep-konsep di atas. Sebab bukan saja Islam di Indonesia menawarkan suatu kekayaan realitas keagamaan, tetapi lebih dari itu Islam di Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi dua hal. Pertama, model untuk menjembatani antara budaya lokal dan Islam, mengingat Indonesia terdiri dari beberapa etnis budaya. Perbedaan-perbedaan manifestasi Islam di setiap wilayah akan memberikan model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam lokal di Indonesia mungkin bisa dijadikan model untuk melihat hubungan antara Islam dan dunia modern. Situasi pluralitas budaya Indonesia yang Islam dapat dijadikan suatu model bagaimana negara Islam menerima ide-ide global. Misalnya saja pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi akan sangat berarti bagi dunia Muslim lainnya. Berikut ini―walaupun tidak baru―saya akan mencoba menawarkan beberapa alternatif model riset yang pernah ditawarkan untuk meneliti Islam, utamanya dalam hubungannya dengan budaya.


Islam popular dan Islam formal

Konsep Islam popular dan Islam formal diadopsi dari konsep popular religion and official religion yang berkembang di agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan yang berjenjang serta mempunyai “office” (kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan agama. Konsep seperti ini dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai sistem eklestial pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran suatu pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan kependetaan inilah yang dianggap sebagai suara resmi, “offical,” gereja tentang praktik agama yang benar. Tanpa persetujuan dari dewan gereja, maka suatu pengalaman keagamaan dianggap tidak sah. Pengamalan keagamaan yang masuk dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal, atau bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi keagamaan lokal sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan dari kalangan awam yang melakukan kegiatan keagaman model kedua ini maka julukan popular religion dipakai.
Walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal suatu lembaga yang dapat mengklaim kebenaran suatu pengamalan agama, sifat dari keputusan lembaga itu tidak dapat mengikat semua Muslim. Hal ini jelas berbeda dengan tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai ukuran popular Islam adalah praktik keagamaan yang telah bercampur dengan tradisi lokal, dalam Islam tentu sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan yang tidak dipengaruhi oleh tradisi lokal. Karena bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal yang dapat dipakai untuk menghakimi mana yang official dan popular. Meskipun demikian, dengan mengesampingkan perbedaan itu, beberapa ahli memakai kerangka ini untuk meneliti tentang Islam.
Gambaran umum yang ditemui kemudian adalah bahwa popular Islam itu berwujud praktik tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh masyarakat bawah atau masyarakat kebanyakan. Misalnya saja Michael Gilsenan meneliti Sufi di Mesir dan di Yaman, Eickelman di Maroko, Evans-Pritchard di Libia, Trimingham di Afrika Timur dan yang lain-lainnya. Disamping itu, Jaques Waardenburg juga memakai konsep popular Islam untuk meneliti dua hal. Pertama, Waardenburg memakai konsep popular Islam untuk merujuk pada praktik-praktik keagamaan yang bersifat lokal seperti ritual untuk memperingati kelahiran Nabi, ritual untuk menghormati kehidupan Sufi dan tradisi-tradisi keagamaan yang merakyat. Kedua, gerakan-gerakan keagamaan semacam ratu adil, milleniarisme, kuktus-kultus Sufi dan tokoh agama tertentu.
Contoh yang baik tentang kajian popular dan official ini mungkin Ernest Gellner dalam bukunya Saint of The Atlas dan teori pendulum swing-nya. Gellner dalam kajiannya menunjukkan bahwa dua kategori tersebut dapat diartikan sebagai perwujudan dari dua tradisi, little tradition and great tradition, istilah yang dikembangkan oleh Robert Redfield. Popular Islam adalah cerminan dari wujudnya little tradition dalam Islam yang dalam bentuknya terlihat jelas dalam praktik Sufi atau pengamalan keagamaan yang berpusat pada tokoh-tokoh kharismatik. Sementara Offical Islam tercermin dalam kehidupan para intelektual Islam yang cenderung berfikir formal dan legalistik yang dikategorikan oleh Gellner sebagai Muslim yang lebih berorientasi pada syari’ah. Bagi Gellner dua kecenderungan ini dalam elit agama direpresentasikan oleh Sufi, sebagai elit popular Islam, dan ulama, sebagai representasi kecenderungan formal agama. Dua kelompok beragama ini selalu berebut kekuasaan dan berusaha untuk menjadi pemimimpin umat. Sebagai kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner memetakan mereka ke dalam dua kubu: Sufi, di satu sisi, merupakan kubu agama yang lebih mementingkan social cohesion sebagai inti kekuatannya yang berbasis di desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan di kota (urban) dan cenderung lebih profesional dan rasional namun lemah ikatan sosialnya.
Dalam pertarungan politik agama dua kekuatan yang berbeda basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul jam (pendulum) yang akan bergoyang kembali ke sisi lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya. Untuk menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun yang berkeyakinan bahwa sesungguhnya pusat peradaban Islam itu berpusat di kota (madinatul munawarah). Namun kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat. Menurut Ibn Khaldun kekuatan massa Islam desa yang didukung oleh social cohesion akan dapat mengantarkannya ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun lagi, setelah kekuatan massa rural itu sampai ke pusat kekuasaan, ia akan mengalami fragmentasi sosial sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia akan dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural area yang mempunyai social cohesion lebih besar. Analisis Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung kajian-kajian kelembagaan agama Islam maupun karakteristiknya baik yang di kota maupun di desa untuk memprediksi kelanjutan proses perjalanan sejarah Islam.
Analisis yang demikian ini juga dapat digunakan untuk melihat organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan percaturan politik umat. Misalnya apakah naiknya Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke panggung kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu hasil dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat menggantikan massa modernis di kota yang telah dilanda fragmentasi yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya, tipe-tipe organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara mendalam.


Agama Sebagai Sistem Budaya
 
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, “Religion as a Cultural System“, dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai: “A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic.” Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik.
Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu eksistensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia. Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat.
Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.


Penutup

Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Kajian semacam Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar keberagaman Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak homework untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.
Ira M. Lapidus juga menekankan dalam karya-karyanya untuk melihat keberagaman itu. Ia membagi periode Islam ke dalam beberapa periode yang ia sebut sebagai periode perkembangan paradigma melihat Islam. Ia mengakui bahwa kenyataan pemeluk Islam yang terdiri dari berbagai lapis budaya mencerminkan suatu curiosity (penasaran) untuk meneliti lebih lanjut. Yang jelas, kata Lapidus, di balik semua keberagaman itu Islam di daerah-daerah Muslim berfungsi sebagai pemersatu budaya. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita menjelaskan suatu rangkain knowledge yang utuh akan adanya Islam lokal itu.
Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut Islam menerjemahkan Islam ke dalam visi-visi kedaerahan. Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu perjalanan untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan Islam.
Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia.
Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia―yang merupakan realitas empiris agama―maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.[]

Selasa, 11 Oktober 2011

PERUBAHAN DAN KONFLIK SOSIAL

PERILAKU SOSIAL
  • Perilaku sosial adalah tingkah laku seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
  • Perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor genetika (genotype), pengalaman, pendidikan, perasaan, naluri dan lingkungan baik fisik maupun sosbud.
  • Melalui sosialisasi terjadi pembinaan kepribadian yang membantu seseorang untuk menyesuaikan diri.
  • Sosialisasi dan kepribadian akan membentuk sistem perilaku (behavior system) yang akan membentuk sikap (attitude) seseorang. Jadi, kepribadian merupakan keseluruhan perilaku seseorang dan kecendrungannya dalam berinter- aksi dengan serangkaian situasi.
TINDAKAN SOSIAL

Tindakan sosial adalah tindakan seseorang yang diarahkan kepada orang lain, tujuannya untuk mendapatkan reaksi dari sasaran yang sesuai dengan harapannya sedangkan pemahaman adalah suatu penafsiran seseorang terhadap tindakan tersebut sehingga dapat memberi reaksi.


CIRI POKOK TINDAKAN SOSIAL

  • Tindakan yang memiliki makna subyektif.
  • Tindakan nyata yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
  • Tindakan yangberpengaruh positif.
  • Tindakan sosial yang selalu diarahkan kepada orang lain untuk mendapat respons.
  • Tindakan yang merupakan respon terhadap tindakan orang lain.


TIPE TINDAKAN SOSIAL

  • Rasional Instrumental (Zwerk Rational) yaitu : tindakan seseorang yang memperhatikan cara dan tujuan yang hendak dicapai dari tindakan tersebut.
  • Rasional yang berorientasi nilai (werkrational action) yaitu tindakan seseorang yang tidak bertentangan dengan kaidah, tetapi tidak diyakininya sebagai cara terbaik untuk mencapai tujuan.
  • Tindakan afektif (affektive action) yaitu tindakan seseorang yang lebih didominasi oleh perasaan atau emosi dan kepura-puraan atau dibuat-buat sehingga seringkali tindakan afektif sulit dipahami dan tidak rasional.
  • Tindakan tradisional (traditional action) yaitu : tindakan seseorang yang didasarkan pada tradisi atau kebiasaan dalam mengadakan sesuatu, baik yang biasa dilakukannya maupun berdasarkan masa lalu.

INTERAKSI SOSIAL

  • Interaksi sosial adalah kontak sosial yang dilakukan seseorang dengan orang lain.
  • Interaksi sosial dapat terjadi apabila terdapat tindakan atau perilaku yang ditujukan pada orang lain sehingga muncul reaksi.
  • Untuk terjadinya interaksi sosial harus memenuhi syarat yaitu adanya kontak sosial (social contact) dan komunikasi.
  • Kontak sosial dapat terjadi melalui kontak primer yaitu bertemu secara langsung (face to face) dan kontak sekunder atau kontak secara tidak langsung melalui telepon, surat, internet atau media lainnya.


FAKTOR-FAKTOR BERLANGSUNGNYA
INTERAKSI SOSIAL

  • Imitasi yaitu peniruan secara sadar atau tidak sadar terhadap perilaku orang lain.
  • Sugesti yaitu Proses penanaman gagasan kepada seseorang dan diterimanya tanpa melalui pemikiran yang kritis.
  • Identifikasi yaitu proses menyamakan diri terhadap orang lain.
  • Simpati yaitu suatu proses dimana seseorang merasa tertarik kepada pihak lain secara subyektif.


BENTUK INTERAKSI SOSIAL

  • Bentuk interaksi sosial yang bersifat assosiatif dan disasosiatif.
  • Bentuk interaksi sosial yang bersifat assosiatif yaitu kerjasama (cooperation) dan akomodasi (accomodation). Kerjasama al : kerukunan, bargaining, Ko-optasi, koalisi dan joint venture. Proses kerjasama dapat berupa; kerjasama spontan, kerjasama langsung, kerjasama kontrak dan kerjasama tradisional.
  • Bentuk interaksi sosial yang bersifat disasosiatif adalah persaingan (competition), kontravensi dan pertentangan atau pertikaian (conflict)
PERUBAHAN SOSIAL

Perubahan sosial adalah perubahan berkenaan dengan kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan sistem nilai, struktur sosial, proses sosial, pola sikap dan tindakan sosial dan lembaga kemasyarakat.
Perubahan dapat berupa kemunduran (regress) dan kemajuan (progress).
Perubahan dapat terjadi di tingkat lokal, regional maupun global.
Terjadinya perubahan sosial mudah diamati oleh pihak luar sedangkan anggota masyarakat yang mengalaminya kurang merasakan.

CIRI-CIRI PERISTIWA
YANG MEMBAWA PADA PERUBAHAN SOSIAL

  • Setiap masyarakat mengalami perubahan oleh karena itu tidak ada suatu masyarakatpun yang berhenti berkembang.
  • Perubahan yang terjadi pada suatu lembaga kemasyaraktan akan diikuti dengan perubahan pada lembaga sosial lainnya.
  • Perubahan sosial yang cepat akan menimbulkan disintegrasi yang bersifat sementara, yang kemudian diikuti dengan perubahan proses reorganisasi untuk memantapkan kaidah baru.
  • Perubahan terjadi pada aspek material maupun immaterial.
FAKTOR PENYEBAB PERBAHAN
SOSIAL YANG BERSUMBER DARI MASYARAKAT

  • Perubahan Komposisi Penduduk. Bertambah dan berkurangnya penduduk menimbulkan perubahan. Bertambahnya penduduk menimbulkan perubahan pada permintaan tenaga kerja dan produksi atau juga sebaliknya.
  • Penemuan Baru. Inovasi atau penemuan baru yang diadopsi oleh masyarakat dapat menimbulkan perubahan sosial.
  • Konflik Sosial. Pertentangan dalam masyarakat dapat menimbulkan perubahan sosial.
  • Pemberontakan. Pemberontakan terhadap penjajah atau pemerintahan yang otoriter dapat menimbulkan perubahan sosial.


BENTUK-BENTUK PERUBAHAN
SOSIAL

  • Perubahan sosial yang lambat dan perubahan sosial yang cepat. Perubahan lambat disebut dengan evolusi dan perubahan cepat disebut revolusi.
  • Perubahan kecil dan perubahan besar. Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur masyarakat yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Perubahan besar adalah perubahan yang terjadi di semua sendi kehidupan masyarakat.
  • Perubahan yang direncanakan dan tidak direncanakan. Perubahan sosial yang sebelumnya dikehendaki atau direncanakan. Sedangkan perubahan yang tidak direncanakan adalah perubahan yaitu perubahan yang terjadi di luar perencanaan.

Rabu, 05 Oktober 2011


Pembelajaran Eskpositori
Diposting oleh : Drs. M. Ichsan. S.Pd.


Pembelajaran Ekspositori - Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.
Strategi pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajran yang berorientasi kepada guru, dikatakan demikian sebab dalam strategi ini guru memegang peranan yang sangat penting atau dominan.
Dengan menggunakan strategi ekspositori terdapat beberapa keunggulan dan kelemahan di dalam menggunakan strategi ini, yaitu:
1. Keunggulan
1.Dengan strategi pembelajaran ekspositori guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran, dengan demikian ia dapat mengetahui sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan.
2.Strategi pembelajaran ekspositori dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara itu waktu yang dimiliki untuk belajar terbatas.
3.Melalui strategi pembelajaran ekspositori selain siswa dapat mendengar melalui penuturan (kuliah) tentang suatu materi pelajaran juga sekaligus siswa bisa melihat atau mengobservasi (melalui pelaksanaan demonstrasi).
4.Keuntungan lain adalah strategi pembelajaran ini bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam strategi ekspositori ini dilakukan melalui metode ceramah, namun tidak berarti proses penyampaian materi tanpa tujuan pembelajaran. Karena itu sebelum strategi ini diterapkan terlebih dahulu guru harus merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas dan terukur. Hal ini sangat penting untuk dipaham, karena tujuan yang spesifik memungkinkan untuk bisa mengontrol efektivitas penggunaan strategi pembelajaran.
2. Kelemahan
Disamping memiliki keunggulan, strategi ekspositori ini juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1.Strategi pembelajaran ini hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik, untuk siswa yang tidak memiliki kemampuan seperti itu perlu digunakan strategi yang lain.
2.Strategi ini tidak mungkin dapat melayani perbedaan setiap individu baik perbedaan kemampuan, pengetahuan, minat, dan bakat, serta perbedaan gaya belajar.
3.Karena strategi lebih banyak diberikan melalui ceramah, maka akan sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis.
4.Keberhasilan strategi pembelajaran ekspositori sangat tergantung kepada apa yang dimiliki guru seperti persiapan, pengetahuan, rasa percaya diri, semangat, antusiasme, motivasi dan berbagai kemampuan seperti kemampuan bertutur (berkomunikasi) dan kemampuan mengelola kelas, tanpa itu sudah pasti proses pembelajaran tidak mungkin berhasil.
5.Oleh karena itu, gaya komunikasi strategi pembelajaran lebih banyak terjadi satu arah, maka kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa sangat terbatas pula. Di samping itu, komunikasi satu arah bisa mengakibatkan pengetahuan yang dimiliki siswa akan terbatas pada apa yang diberikan guru.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa secara umum tidak ada satu strategi pembelajaran yang dianggap lebih baik dibandingkan dengan strategi pembelajaran yang lain, baik tidaknya suatu strategi pembelajaran isa dilihat dari efektif tidaknya strategi tersebut dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Pembelajaran Ekspositori

MetodePembelajaran

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.
Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip, modifikasinya diserahkan kepada guru untuk melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas para guru sangat tinggi.


1. Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siswa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.

2. Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Prinsip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.
Ada tujuh indikator pembelajaran kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya dari berbagai aspek dengan berbagai cara).
3. Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinvention dalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan untuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengembangan matematika).
Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).

4. Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada keterampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).

5. Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap hatrus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal.
Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri

6. Problem Solving
Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian (menemukan pola, aturan, .atau algoritma). Sintaknya adalah: sajikan permasalahan yang memenuhi kriteria di atas, siswa berkelompok atau individual mengidentifikasi pola atau aturan yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi.

7. Problem Posing
Bentuk lain dari problem posing adalah problem posing, yaitu pemecahan masalah dengan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-pertanyaan.

8. Problem Terbuka (OE, Open Ended)
Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntut untuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjutnya siswa juga diminta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Dengan demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentuk pola pikir, keterpasuan, keterbukaan, dan ragam berpikir.
Sajian masalah haruslah kontekstual kaya makna secara matematik (gunakan gambar, diagram, table), kembangkan permasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitkan dengan materi selanjutnya, siapkan rencana bimibingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri).
Sintaknya adalah menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat respon siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.

9. Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan setiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa mengkonstruksi konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.
Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari proses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi suasana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mengurangi kondisi tersebut, guru hendaknya serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut. Ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia sedang belajar, ia telah berpartisipasi

10. Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)
Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi (deskripsi), kemudian eksplanasi (empiric), dan diakhiri dengan aplikasi (aduktif). Eksplorasi berarti menggali pengetahuan prasyarat, eksplanasi berarti mengenalkan konsep baru dan alternative pemecahan, dan aplikasi berarti menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda.

11. Reciprocal Learning
Weinstein & Meyer (1998) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mengemukan bahwa belajar efektif dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya, representasi, hipotesis.
Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKSD-modul, membaca-merangkum.

12. SAVI
Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indra yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) di mana belajar dengan mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melaluui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan penndepat, dan menanggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melalui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on) belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.

13. TGT (Teams Games Tournament)
Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bisa berbeda. Setelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamika kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskusi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehingga terjadi diskusi kelas.
Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan, atau dalam rangka mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport. Sintaknya adalah sebagai berikut:
a. Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan \mekanisme kegiatan
b. Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-X ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesepakatan kelompok.
c. Selanjutnya adalah pelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa bisa mengerjakan lebih dari satu soal dan hasilnya diperiksa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja turnamen sesuai dengan skor yang diperolehnya diberikan sebutan (gelar) superior, very good, good, medium.
d. Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar yang sama.
e. Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan kelompok dan individual.

14. VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic)
Model pembelajaran ini menganggap bahwa pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan ketiga hal tersebut di atas, dengan perkataan lain manfaatkanlah potensi siwa yang telah dimilikinya dengan melatih, mengembangkannya. Istilah tersebut sama halnya dengan istilah pada SAVI, dengan somatic ekuivalen dengan kinesthetic.


15. AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)
Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalaman, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis.

16. TAI (Team Assisted Individualy)
Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab belajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi.
Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.


17. STAD (Student Teams Achievement Division)
STAD adalah salah satu model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.

18. NHT (Numbered Head Together)
NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiap siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.

19. Jigsaw
Model pembelajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks seperti berikut ini. Pengarahan, informasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahas bagian tertentu, tiap kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok asal, pelaksanaan tutorial pada kelompok asal oleh anggota kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

20. TPS (Think Pairs Share)
Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

21. GI (Group Investigation)
Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan orientasi tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah), pengolahan data penyajian data hasil investigasi, presentasi, kuis individual, buat skor perkembangan siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

22. MEA (Means-Ends Analysis)
Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadi koneksivitas, pilih strategi solusi.

23. CPS (Creative Problem Solving)
Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi.

24. TTW (Think Talk Write)
Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian buat laporan hasil presentasi. Sintaknya adalah: informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan.

25. TS-TS (Two Stay – Two Stray)
Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, laporan kelompok.

26. CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending)
Sintaknya adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (0) organisasi ide untuk memahami materi, (R) memikirkan kembali, mendalami, dan menggali, (E) mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.

27. SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review)
Pembelajaran ini adalah strategi membaca yang dapat mengembangkan meta kognitif siswa, yaitu dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar secara seksama-cermat, dengan sintaks: Survey dengan mencermati teks bacaan dan mencatat-menandai kata kunci, Question dengan membuat pertanyaan (mengapa-bagaimana, darimana) tentang bahan bacaan (materi bahan ajar), Read dengan membaca teks dan cari jawabanya, Recite dengan pertimbangkan jawaban yang diberikan (catat-bahas bersama), dan Review dengan cara meninjau ulang menyeluruh

28. SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review)
SQ4R adalah pengembangan dari SQ3R dengan menambahkan unsur Reflect, yaitu aktivitas memberikan contoh dari bahan bacaan dan membayangkan konteks aktual yang relevan.
29. MID (Meaningful Instructionnal Design)
Model ini adalah pembelajaran yang mengutamakan kebermaknaan belajar dan efektifivitas dengan cara membuat kerangka kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-konstruktivis. Sintaknya adalah (1) lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan pengalaman, analisis pengalaman, dan konsep-ide; (2) reconstruction melakukan fasilitasi pengalaman belajar; (3) production melalui ekspresi-apresiasi konsep

30. KUASAI
Pembelajaran akan efektif dengan melibatkan enam tahap berikut ini, Kerangka pikir untuk sukses, Uraikan fakta sesuai dengan gaya belajar, Ambil pemaknaan (mengetahui-memahami-menggunakan-memaknai), Sertakan ingatan dan hafalkan kata kunci serta koneksinya, Ajukan pengujian pemahaman, dan Introspeksi melalui refleksi diri tentang gaya belajar.

31. CRI (Certainly of Response Index)
CRI digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran yang berkenaan dengan tingkat keyakinan siswa tentang kemampuan yang dimilkinya untuk memilih dan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hutnal (2002) mengemukakan bahwa CRI menggunakan rubric dengan penskoran 0 untuk totally guested answer, 1 untuk amost guest, 2 untuk not sure, 3 untuk sure, 4 untuk almost certain, dn 5 untuk certain.

32. DLPS (Double Loop Problem Solving)
DPLS adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan penekanan pada pencarian kausal (penyebab) utama daritimbulnya masalah, jadi berkenaan dengan jawaban untuk pertanyaan mengapa. Selanutnya menyelesaikan masalah tersebut dengan cara menghilangkan gap yang menyebabkan munculnya masalah tersebut.
Sintaknya adalah: identifkasi, deteksi kausal, solusi tentative, pertimbangan solusi, analisis kausal, deteksi kausal lain, dan rencana solusi yang terpilih. Langkah penyelesaian masalah sebagai berikut: menuliskan pernyataan masalah awal, mengelompokkan gejala, menuliskan pernyataan masalah yang telah direvisi, mengidentifikasi kausal, implementasi solusi, identifikasi kausal utama, menemukan pilihan solusi utama, dan implementasi solusi utama.

33. DMR (Diskursus Multy Reprecentacy)
DMR adalah pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan, dan pemanfaatan berbagai representasi dengan setting kelas dan kerja kelompok. Sintaksnya adalah: persiapan, pendahuluan, pengembangan, penerapan, dan penutup.

34. CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition)
Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif –kelompok. Sintaksnya adalah: membentuk kelompok heterogen 4 orang, guru memberikan wacana bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa bekerja sama (membaca bergantian, menemukan kata kunci, memberikan tanggapan) terhadap wacana kemudian menuliskan hasil kolaboratifnya, presentasi hasil kelompok, refleksi.

35. IOC (Inside Outside Circle)
IOC adalah model pembelajaran dengan sistim lingkaran kecil dan lingkaran besar (Spencer Kagan, 1993) di mana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan singkat dan teratur. Sintaksnya adalah: Separuh dari jumlah siswa membentuk lingkaran kecil menghadap keluar, separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa yang berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkaran luar berputar kemudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya.

36. Tari Bambu
Model pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda secara teratur. Strategi ini cocok untuk bahan ajar yang memerlukan pertukaran pengalaman dan pengetahuan antar siswa. Sintaksnya adalah: Sebagian siswa berdiri berjajar di depan kelas atau di sela bangku-meja dan sebagian siswa lainnya berdiri berhadapan dengan kelompok siswa pertama, siswa yang berhadapan berbagi pengalaman dan pengetahuan, siswa yang berdiri di ujung salah satu jajaran pindah ke ujung lainnya pada jajarannya, dan kembali berbagai informasi.

37. Artikulasi
Artikulasi adlah model pembelajaran dengan sintaks: penyampaian kompetensi, sajian materi, bentuk kelompok berpasangan sebangku, salah satu siswa menyampaikan materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan.

38. Debate
Debat adalah model pembalajaran dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu seterusnya secara bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan menambahkannya biola perlu.

39. Role Playing
Sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan skenario pembelajaran, menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario tersebut, pembentukan kelompok siswa, penyampaian kompetensi, menunjuk siswa untuk melakonkan skenario yang telah dipelajarinya, kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan kesimpulan dan refleksi.

40. Talking Stick
Sintak pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan tongkat, sajian materi pokok, siswa membaca materi lengkap pada wacana, guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa dan siswa yang kebagian tongkat menjawab pertanyaan dari guru, tongkat diberikan kepada siswa lain dan guru memberikan pertanyaan lagi dan seterusnya, guru membimbing kesimpulan-refleksi-evaluasi.

41. Snowball Throwing
Sintaknya adalah: Informasi materi secara umum, membentuk kelompok, pemanggilan ketua dan diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok, bekerja kelompok, tiap kelompok menuliskan pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain, kelompok lain menjawab secara bergantian, penyimpulan, refleksi dan evaluasi.

42. Student Facilitator and Explaining
Langkah-langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian materi, siswa mengembangkannya dan menjelaskan lagi ke siswa lainnya, kesimpulan dan evaluasi, refleksi.

43. Course Review Horay
Langkah-langkahnya: informasi kompetensi, sajian materi, tanya jawab untuk pemantapan, siswa atau kelompok menuliskan nomor sembarang dan dimasukkan ke dalam kotak, guru membacakan soal yang nomornya dipilih acak, siswa yang punya nomor sama dengan nomor soal yang dibacakan guru berhak menjawab jika jawaban benar diberi skor dan siswa menyambutnya dengan yel hore atau yang lainnya, pemberian reward, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

44. Demostration
Pembelajaran ini khusus untuk materi yang memerlukan peragaan media atau eksperimen. Langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian gambaran umum materi bahan ajar, membagi tugas pembahasan materi untuk tiap kelompok, menunjuk siswa atau kelompok untuk mendemonstrasikan bagiannya, dikusi kelas, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

45. Explicit Instruction
Pembelajaran ini cocok untuk menyampaikan materi yang sifatnya algoritma-prosedural, langkah demi langkah bertahap. Sintaknya adalah: sajian informasi kompetensi, mendemontrasikan pengetahuan dan ketrampilan prosedural, membimbing pelatihan-penerapan, mengecek pemahaman dan balikan, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

46. Scramble
Sintaknya adalah: buatlah kartu soal sesuai marteri bahan ajar, buat kartu jawaban dengan diacak nomornya, sajikan materi, membagikan kartu soal pada kelompok dan kartu jawaban, siswa berkelompok mengerjakan soal dan mencari kartu soal untuk jawaban yang cocok.

47. Pair Checks
Siswa berkelompok berpasangan sebangku, salah seorang menyajikan persoalan dan temannya mengerjakan, pengecekan kebenaran jawaban, bertukar peran, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

48. Make-A Match
Guru menyiapkan kartu yang berisi persoalan-permasalahan dan kartu yang berisi jawabannya, setiap siswa mencari dan mendapatkan sebuah kartu soal dan berusaha menjawabnya, setiap siswa mencari kartu jawaban yang cocok dengan persoalannya siswa yang benar mendapat nilai-reward, kartu dikumpul lagi dan dikocok, untuk babak berikutnya pembelajaran seperti babak pertama, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

49. Mind Mapping
Pembelajaran ini sangat cocok untuk mereview pengetahuan awal siswa. Sintaknya adalah: informasi kompetensi, sajian permasalahan terbuka, siswa berkelompok untuk menanggapi dan membuat berbagai alternatif jawaban, presentasi hasil diskusi kelompok, siswa membuat kesimpulan dari hasil setiap kelompok, evaluasi dan refleksi.

50. Examples Non Examples
Persiapkan gambar, diagram, atau tabel sesuai materi bahan ajar dan kompetensi, sajikan gambar ditempel atau pakai OHP, dengan petunjuk guru siswa mencermati sajian, diskusi kelompok tentang sajian gambar tadi, presentasi hasil kelompok, bimbingan penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

51. Picture and Picture
Sajian informasi kompetensi, sajian materi, perlihatkan gambar kegiatan berkaitan dengan materi, siswa (wakil) mengurutkan gambar sehingga sistematik, guru mengkonfirmasi urutan gambar tersebut, guru menanamkan konsep sesuai materi bahan ajar, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

52. Cooperative Script
Buat kelompok berpasangan sebangku, bagikan wacana materi bahan ajar, siswa mempelajari wacana dan membuat rangkuman, sajian hasil diskusi oleh salah seorang dan yang lain menanggapi, bertukar peran, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

53. LAPS-Heuristik
Heuristik adalah rangkaian pertanyaan yang bersifat tuntunan dalam rangka solusi masalah. LAPS ( Logan Avenue Problem Solving) dengan kata Tanya apa masalahnya, adakah alternative, apakah bermanfaat, apakah solusinya, dan bagaimana sebaiknya mengerjakannya. Sintaks: pemahaman masalah, rencana, solusi, dan pengecekan.

54. Improve
Improve singkatan dari Introducing new concept, Metakognitive questioning, Practicing, Reviewing and reducing difficulty, Obtaining mastery, Verivication, Enrichment. Sintaknya adalah sajian pertanyaan untuk mengantarkan konsep, siswa latihan dan bertanya, balikan-perbaikan-pengayaan-interaksi.

55. Generatif
Basis generatif adalah konstruksivisme dengan sintaks orintasi-motivasi, pengungkapan ide-konsep awal, tantangan dan restrukturisasi sajian konsep, aplikasi, rangkuman, evaluasi, dan refleksi

56. Circuit Learning
Pembelajaran ini adalah dengan memaksimalkan pemberdayaan pikiran dan perasaan dengan pola bertambah dan mengulang. Sintaknya adalah kondisikan situasi belajar kondusif dan fokus, siswa membuat catatan kreatif sesuai dengan pola pikirnya-peta konsep-bahasa khusus, Tanya jawab dan refleksi

57. Complette Sentence
Pembelajaran dengan model melengkapi kalimat adalah dengan sintaks: sisapkan blanko isian berupa paragraf yang kalimatnya belum lengkap, sampaikan kompetensi, siswa ditugaskan membaca wacana, guru membentuk kelompok, LKS dibagikan berupa paragraph yang kaliatnya belum lengkap, siswa berkelompok melengkapi, presentasi.

58. Concept Sentence
Prosedurnya adalah penyampaian kompetensi, sajian materi, membentuk kelompok heterogen, guru menyiapkan kata kunci sesuai materi bahan ajar, tiap kelompok membuat kalimat berdasarkan kata kunci, presentasi.

59. Time Token
Model ini digunakan (Arebds, 1998) untuk melatih dan mengembangkan keterampilan sosial agar siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Langkahnya adalah kondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi, tiap siswa diberi kupon bahan pembicaraan (1 menit), siswa berbicara (pidato-tidak membaca) berdasarkan bahan pada kupon, setelah selesai kupon dikembalikan.

60. Take and Give
Model pembelajaran menerima dan memberi adalah dengan sintaks, siapkan kartu dengan yang berisi nama siswa - bahan belajar - dan nama yang diberi, informasikan kompetensi, sajian materi, pada tahap pemantapan tiap siswa disuruh berdiri dan mencari teman dan saling informasi tentang materi atau pendalaman-perluasannya kepada siswa lain kemudian mencatatnya pada kartu, dan seterusnya dengan siswa lain secara bergantian, evaluasi dan refleksi

61. Superitem
Pembelajaran ini dengan cara memberikan tugas kepada siswa secara bertingkat-bertahap dari simpel ke kompleks, berupa pemecahan masalah. Sintaksnya adalah ilustrasikan konsep konkret dan gunakan analogi, berikan latihan soal bertingkat, berikan soal tes bentuk super item, yaitu mulai dari mengolah informasi-koneksi informasi, integrasi, dan hipotesis.

62. Hibrid
Model hibrid adalah gabungan dari beberapa metode yang berkenaan dengan cara siswa mengadopsi konsep. Sintaknya adalah pembelajaran ekspositori, koperatif-inkuiri-solusi-workshop, virtual workshop menggunakan computer-internet.

63. Treffinger
Pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan pengetahuan siap. Sintaks: keterbukaan-urutan ide-penguatan, penggunaan ide kreatif-konflik internal-skill, proses rasa-pikir kreatif dalam pemecahan masalah secara mandiri melalui pemanasan-minat-kuriositi-tanya, kelompok-kerjasama, kebebasan-terbuka, reward.

64. Kumon
Pembelajaran dengan mengaitkan antar konsep, ketrampilan, kerja individual, dan menjaga suasana nyaman-menyenangkan. Sintaksnya adalah: sajian konsep, latihan, tiap siswa selesai tugas langsung diperiksa-dinilai, jika keliru langsung dikembalikan untuk diperbaiki dan diperiksa lagi, lima kali salah guru membimbing.

65. Quantum
Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni. Guru harus menciptakan suasana kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif, dan saling menghargai. Prinsip quantum adalah semua berbicara-bermakna, semua mempunyai tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi reward. Strategi quantum adalah tumbuhkan minat dengan AMBak, alami-dengan dunia realitas siswa, namai-buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui presentasi-komunikasi, ulangi dengan Tanya jawab-latihan-rangkuman, dan rayakan dengan reward dengan senyum-tawa-ramah-sejuk-nilai-harapan.