Selasa, 11 Oktober 2011

PERUBAHAN DAN KONFLIK SOSIAL

PERILAKU SOSIAL
  • Perilaku sosial adalah tingkah laku seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
  • Perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor genetika (genotype), pengalaman, pendidikan, perasaan, naluri dan lingkungan baik fisik maupun sosbud.
  • Melalui sosialisasi terjadi pembinaan kepribadian yang membantu seseorang untuk menyesuaikan diri.
  • Sosialisasi dan kepribadian akan membentuk sistem perilaku (behavior system) yang akan membentuk sikap (attitude) seseorang. Jadi, kepribadian merupakan keseluruhan perilaku seseorang dan kecendrungannya dalam berinter- aksi dengan serangkaian situasi.
TINDAKAN SOSIAL

Tindakan sosial adalah tindakan seseorang yang diarahkan kepada orang lain, tujuannya untuk mendapatkan reaksi dari sasaran yang sesuai dengan harapannya sedangkan pemahaman adalah suatu penafsiran seseorang terhadap tindakan tersebut sehingga dapat memberi reaksi.


CIRI POKOK TINDAKAN SOSIAL

  • Tindakan yang memiliki makna subyektif.
  • Tindakan nyata yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
  • Tindakan yangberpengaruh positif.
  • Tindakan sosial yang selalu diarahkan kepada orang lain untuk mendapat respons.
  • Tindakan yang merupakan respon terhadap tindakan orang lain.


TIPE TINDAKAN SOSIAL

  • Rasional Instrumental (Zwerk Rational) yaitu : tindakan seseorang yang memperhatikan cara dan tujuan yang hendak dicapai dari tindakan tersebut.
  • Rasional yang berorientasi nilai (werkrational action) yaitu tindakan seseorang yang tidak bertentangan dengan kaidah, tetapi tidak diyakininya sebagai cara terbaik untuk mencapai tujuan.
  • Tindakan afektif (affektive action) yaitu tindakan seseorang yang lebih didominasi oleh perasaan atau emosi dan kepura-puraan atau dibuat-buat sehingga seringkali tindakan afektif sulit dipahami dan tidak rasional.
  • Tindakan tradisional (traditional action) yaitu : tindakan seseorang yang didasarkan pada tradisi atau kebiasaan dalam mengadakan sesuatu, baik yang biasa dilakukannya maupun berdasarkan masa lalu.

INTERAKSI SOSIAL

  • Interaksi sosial adalah kontak sosial yang dilakukan seseorang dengan orang lain.
  • Interaksi sosial dapat terjadi apabila terdapat tindakan atau perilaku yang ditujukan pada orang lain sehingga muncul reaksi.
  • Untuk terjadinya interaksi sosial harus memenuhi syarat yaitu adanya kontak sosial (social contact) dan komunikasi.
  • Kontak sosial dapat terjadi melalui kontak primer yaitu bertemu secara langsung (face to face) dan kontak sekunder atau kontak secara tidak langsung melalui telepon, surat, internet atau media lainnya.


FAKTOR-FAKTOR BERLANGSUNGNYA
INTERAKSI SOSIAL

  • Imitasi yaitu peniruan secara sadar atau tidak sadar terhadap perilaku orang lain.
  • Sugesti yaitu Proses penanaman gagasan kepada seseorang dan diterimanya tanpa melalui pemikiran yang kritis.
  • Identifikasi yaitu proses menyamakan diri terhadap orang lain.
  • Simpati yaitu suatu proses dimana seseorang merasa tertarik kepada pihak lain secara subyektif.


BENTUK INTERAKSI SOSIAL

  • Bentuk interaksi sosial yang bersifat assosiatif dan disasosiatif.
  • Bentuk interaksi sosial yang bersifat assosiatif yaitu kerjasama (cooperation) dan akomodasi (accomodation). Kerjasama al : kerukunan, bargaining, Ko-optasi, koalisi dan joint venture. Proses kerjasama dapat berupa; kerjasama spontan, kerjasama langsung, kerjasama kontrak dan kerjasama tradisional.
  • Bentuk interaksi sosial yang bersifat disasosiatif adalah persaingan (competition), kontravensi dan pertentangan atau pertikaian (conflict)
PERUBAHAN SOSIAL

Perubahan sosial adalah perubahan berkenaan dengan kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan sistem nilai, struktur sosial, proses sosial, pola sikap dan tindakan sosial dan lembaga kemasyarakat.
Perubahan dapat berupa kemunduran (regress) dan kemajuan (progress).
Perubahan dapat terjadi di tingkat lokal, regional maupun global.
Terjadinya perubahan sosial mudah diamati oleh pihak luar sedangkan anggota masyarakat yang mengalaminya kurang merasakan.

CIRI-CIRI PERISTIWA
YANG MEMBAWA PADA PERUBAHAN SOSIAL

  • Setiap masyarakat mengalami perubahan oleh karena itu tidak ada suatu masyarakatpun yang berhenti berkembang.
  • Perubahan yang terjadi pada suatu lembaga kemasyaraktan akan diikuti dengan perubahan pada lembaga sosial lainnya.
  • Perubahan sosial yang cepat akan menimbulkan disintegrasi yang bersifat sementara, yang kemudian diikuti dengan perubahan proses reorganisasi untuk memantapkan kaidah baru.
  • Perubahan terjadi pada aspek material maupun immaterial.
FAKTOR PENYEBAB PERBAHAN
SOSIAL YANG BERSUMBER DARI MASYARAKAT

  • Perubahan Komposisi Penduduk. Bertambah dan berkurangnya penduduk menimbulkan perubahan. Bertambahnya penduduk menimbulkan perubahan pada permintaan tenaga kerja dan produksi atau juga sebaliknya.
  • Penemuan Baru. Inovasi atau penemuan baru yang diadopsi oleh masyarakat dapat menimbulkan perubahan sosial.
  • Konflik Sosial. Pertentangan dalam masyarakat dapat menimbulkan perubahan sosial.
  • Pemberontakan. Pemberontakan terhadap penjajah atau pemerintahan yang otoriter dapat menimbulkan perubahan sosial.


BENTUK-BENTUK PERUBAHAN
SOSIAL

  • Perubahan sosial yang lambat dan perubahan sosial yang cepat. Perubahan lambat disebut dengan evolusi dan perubahan cepat disebut revolusi.
  • Perubahan kecil dan perubahan besar. Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur masyarakat yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Perubahan besar adalah perubahan yang terjadi di semua sendi kehidupan masyarakat.
  • Perubahan yang direncanakan dan tidak direncanakan. Perubahan sosial yang sebelumnya dikehendaki atau direncanakan. Sedangkan perubahan yang tidak direncanakan adalah perubahan yaitu perubahan yang terjadi di luar perencanaan.

Rabu, 05 Oktober 2011


Pembelajaran Eskpositori
Diposting oleh : Drs. M. Ichsan. S.Pd.


Pembelajaran Ekspositori - Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.
Strategi pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajran yang berorientasi kepada guru, dikatakan demikian sebab dalam strategi ini guru memegang peranan yang sangat penting atau dominan.
Dengan menggunakan strategi ekspositori terdapat beberapa keunggulan dan kelemahan di dalam menggunakan strategi ini, yaitu:
1. Keunggulan
1.Dengan strategi pembelajaran ekspositori guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran, dengan demikian ia dapat mengetahui sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan.
2.Strategi pembelajaran ekspositori dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara itu waktu yang dimiliki untuk belajar terbatas.
3.Melalui strategi pembelajaran ekspositori selain siswa dapat mendengar melalui penuturan (kuliah) tentang suatu materi pelajaran juga sekaligus siswa bisa melihat atau mengobservasi (melalui pelaksanaan demonstrasi).
4.Keuntungan lain adalah strategi pembelajaran ini bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam strategi ekspositori ini dilakukan melalui metode ceramah, namun tidak berarti proses penyampaian materi tanpa tujuan pembelajaran. Karena itu sebelum strategi ini diterapkan terlebih dahulu guru harus merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas dan terukur. Hal ini sangat penting untuk dipaham, karena tujuan yang spesifik memungkinkan untuk bisa mengontrol efektivitas penggunaan strategi pembelajaran.
2. Kelemahan
Disamping memiliki keunggulan, strategi ekspositori ini juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1.Strategi pembelajaran ini hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik, untuk siswa yang tidak memiliki kemampuan seperti itu perlu digunakan strategi yang lain.
2.Strategi ini tidak mungkin dapat melayani perbedaan setiap individu baik perbedaan kemampuan, pengetahuan, minat, dan bakat, serta perbedaan gaya belajar.
3.Karena strategi lebih banyak diberikan melalui ceramah, maka akan sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis.
4.Keberhasilan strategi pembelajaran ekspositori sangat tergantung kepada apa yang dimiliki guru seperti persiapan, pengetahuan, rasa percaya diri, semangat, antusiasme, motivasi dan berbagai kemampuan seperti kemampuan bertutur (berkomunikasi) dan kemampuan mengelola kelas, tanpa itu sudah pasti proses pembelajaran tidak mungkin berhasil.
5.Oleh karena itu, gaya komunikasi strategi pembelajaran lebih banyak terjadi satu arah, maka kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa sangat terbatas pula. Di samping itu, komunikasi satu arah bisa mengakibatkan pengetahuan yang dimiliki siswa akan terbatas pada apa yang diberikan guru.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa secara umum tidak ada satu strategi pembelajaran yang dianggap lebih baik dibandingkan dengan strategi pembelajaran yang lain, baik tidaknya suatu strategi pembelajaran isa dilihat dari efektif tidaknya strategi tersebut dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Pembelajaran Ekspositori

MetodePembelajaran

Untuk membelajarkan siswa sesuai dengan cara-gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, kita (guru) harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.
Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kondisi yang dihadapi. Akan tetapi sajian yang dikemukakan pengantarnya berupa pengertian dan rasional serta sintaks (prosedur) yang sifatnya prinsip, modifikasinya diserahkan kepada guru untuk melakukan penyesuaian, penulis yakin kreativitas para guru sangat tinggi.


1. Koperatif (CL, Cooperative Learning).
Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyatan itu, belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih beinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jadi model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siswa heterogen (kemampuan, gender, karekter), ada control dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.
Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.

2. Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modeling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Prinsip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.
Ada tujuh indikator pembelajaran kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh), questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan), inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan), constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya dari berbagai aspek dengan berbagai cara).
3. Realistik (RME, Realistic Mathematics Education)
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinvention dalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan untuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengembangan matematika).
Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).

4. Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning)
Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada keterampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi).

5. Pembelajaran Berbasis masalah (PBL, Problem Based Learning)
Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap hatrus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal.
Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, konjektur, sintesis, generalisasi, dan inkuiri

6. Problem Solving
Dalam hal ini masalah didefinisikan sebagai suatu persoalan yang tidak rutin, belum dikenal cara penyelesaiannya. Justru problem solving adalah mencari atau menemukan cara penyelesaian (menemukan pola, aturan, .atau algoritma). Sintaknya adalah: sajikan permasalahan yang memenuhi kriteria di atas, siswa berkelompok atau individual mengidentifikasi pola atau aturan yang disajikan, siswa mengidentifkasi, mengeksplorasi,menginvestigasi, menduga, dan akhirnya menemukan solusi.

7. Problem Posing
Bentuk lain dari problem posing adalah problem posing, yaitu pemecahan masalah dengan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar, identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-pertanyaan.

8. Problem Terbuka (OE, Open Ended)
Pembelajaran dengan problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Siswa dituntut untuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban, jawaban siswa beragam. Selanjutnya siswa juga diminta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut. Dengan demikian model pembelajaran ini lebih mementingkan proses daripada produk yang akan membentuk pola pikir, keterpasuan, keterbukaan, dan ragam berpikir.
Sajian masalah haruslah kontekstual kaya makna secara matematik (gunakan gambar, diagram, table), kembangkan permasalahan sesuai dengan kemampuan berpikir siswa, kaitkan dengan materi selanjutnya, siapkan rencana bimibingan (sedikit demi sedikit dilepas mandiri).
Sintaknya adalah menyajikan masalah, pengorganisasian pembelajaran, perhatikan dan catat respon siswa, bimbingan dan pengarahan, membuat kesimpulan.

9. Probing-prompting
Teknik probing-prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan setiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Selanjutnya siswa mengkonstruksi konsep-prinsip-aturan menjadi pengetahuan baru, dengan demikian pengetahuan baru tidak diberitahukan.
Dengan model pembelajaran ini proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk siswa secara acak sehingga setiap siswa mau tidak mau harus berpartisipasi aktif, siswa tidak bisa menghindar dari proses pembelajaran, setiap saat ia bisa dilibatkan dalam proses tanya jawab. Kemungkinan akan terjadi suasana tegang, namun demikian bisa dibiasakan. Untuk mengurangi kondisi tersebut, guru hendaknya serangkaian pertanyaan disertai dengan wajah ramah, suara menyejukkan, nada lembut. Ada canda, senyum, dan tertawa, sehingga suasana menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Jangan lupa, bahwa jawaban siswa yang salah harus dihargai karena salah adalah cirinya dia sedang belajar, ia telah berpartisipasi

10. Pembelajaran Bersiklus (cycle learning)
Ramsey (1993) mengemukakan bahwa pembelajaran efektif secara bersiklus, mulai dari eksplorasi (deskripsi), kemudian eksplanasi (empiric), dan diakhiri dengan aplikasi (aduktif). Eksplorasi berarti menggali pengetahuan prasyarat, eksplanasi berarti mengenalkan konsep baru dan alternative pemecahan, dan aplikasi berarti menggunakan konsep dalam konteks yang berbeda.

11. Reciprocal Learning
Weinstein & Meyer (1998) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran harus memperhatikan empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi diri. Sedangkan Resnik (1999) mengemukan bahwa belajar efektif dengan cara membaca bermakna, merangkum, bertanya, representasi, hipotesis.
Untuk mewujudkan belajar efektif, Donna Meyer (1999) mengemukakan cara pembelajaran resiprokal, yaitu: informasi, pengarahan, berkelompok mengerjakan LKSD-modul, membaca-merangkum.

12. SAVI
Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indra yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri adalah kependekan dari: Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik) di mana belajar dengan mengalami dan melakukan; Auditory yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan melaluui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan penndepat, dan menanggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melalui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on) belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.

13. TGT (Teams Games Tournament)
Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bisa berbeda. Setelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamika kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskusi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah , lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehingga terjadi diskusi kelas.
Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan, atau dalam rangka mengisi waktu sesudah UAS menjelang pembagian raport. Sintaknya adalah sebagai berikut:
a. Buat kelompok siswa heterogen 4 orang kemudian berikan informasi pokok materi dan \mekanisme kegiatan
b. Siapkan meja turnamen secukupnya, missal 10 meja dan untuk tiap meja ditempati 4 siswa yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh siswa dengan level tertinggi dari tiap kelompok dan seterusnya sampai meja ke-X ditepati oleh siswa yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap siswa yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesepakatan kelompok.
c. Selanjutnya adalah pelaksanaan turnamen, setiap siswa mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu terttentu (misal 3 menit). Siswa bisa mengerjakan lebih dari satu soal dan hasilnya diperiksa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Siswa pada tiap meja turnamen sesuai dengan skor yang diperolehnya diberikan sebutan (gelar) superior, very good, good, medium.
d. Bumping, pada turnamen kedua ( begitu juga untuk turnamen ketiga-keempat dst.), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, siswa superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh siswa dengan gelar yang sama.
e. Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan kelompok dan individual.

14. VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic)
Model pembelajaran ini menganggap bahwa pembelajaran akan efektif dengan memperhatikan ketiga hal tersebut di atas, dengan perkataan lain manfaatkanlah potensi siwa yang telah dimilikinya dengan melatih, mengembangkannya. Istilah tersebut sama halnya dengan istilah pada SAVI, dengan somatic ekuivalen dengan kinesthetic.


15. AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition)
Model pembelajaran ini mirip dengan SAVI dan VAK, bedanya hanyalah pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalaman, perluasan, pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis.

16. TAI (Team Assisted Individualy)
Terjemahan bebas dari istilah di atas adalah Bantuan Individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karateristirk bahwa (Driver, 1980) tanggung jawab belajar adalah pada siswa. Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru-siswa adalah negosiasi dan bukan imposisi-intruksi.
Sintaksi BidaK menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok heterogen dan berikan bahan ajar berupak modul, (2) siswa belajar kelompok dengan dibantu oleh siswa pandai anggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.


17. STAD (Student Teams Achievement Division)
STAD adalah salah satu model pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen (4-5 orang), diskusikan bahan belajar-LKS-modul secara kolabratif, sajian-presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok, umumkan rekor tim dan individual dan berikan reward.

18. NHT (Numbered Head Together)
NHT adalah salah satu tipe dari pembelajaran koperatif dengan sintaks: pengarahan, buat kelompok heterogen dan tiap siswa memiliki nomor tertentu, berikan persoalan materi bahan ajar (untuk tiap kelompok sama tapi untuk tiap siswa tidak sama sesuai dengan nomor siswa, tiap siswa dengan nomor sama mendapat tugas yang sama) kemudian bekerja kelompok, presentasi kelompok dengan nomor siswa yang sama sesuai tugas masing-masing sehingga terjadi diskusi kelas, kuis individual dan buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan beri reward.

19. Jigsaw
Model pembelajaran ini termasuk pembelajaran koperatif dengan sintaks seperti berikut ini. Pengarahan, informasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok, tiap anggota kelompok bertugas membahas bagian tertentu, tiap kelompok bahan belajar sama, buat kelompok ahli sesuai bagian bahan ajar yang sama sehingga terjadi kerja sama dan diskusi, kembali ke kelompok asal, pelaksanaan tutorial pada kelompok asal oleh anggota kelompok ahli, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

20. TPS (Think Pairs Share)
Model pembelajaran ini tergolong tipe koperatif dengan sintaks: Guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan kepada siswa dan siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (think-pairs), presentasi kelompok (share), kuis individual, buat skor perkembangan tiap siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

21. GI (Group Investigation)
Model koperatif tipe GI dengan sintaks: Pengarahan, buat kelompok heterogen dengan orientasi tugas, rencanakan pelaksanaan investigasi, tiap kelompok menginvestigasi proyek tertentu (bisa di luar kelas, misal mengukur tinggi pohon, mendata banyak dan jenis kendaraan di dalam sekolah, jenis dagangan dan keuntungan di kantin sekolah, banyak guru dan staf sekolah), pengolahan data penyajian data hasil investigasi, presentasi, kuis individual, buat skor perkembangan siswa, umumkan hasil kuis dan berikan reward.

22. MEA (Means-Ends Analysis)
Model pembelajaran ini adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristic, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan, susun sub-sub masalah sehingga terjadi koneksivitas, pilih strategi solusi.

23. CPS (Creative Problem Solving)
Ini juga merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematik dalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sintaksnya adalah: mulai dari fakta aktual sesuai dengan materi bahan ajar melalui tanya jawab lisan, identifikasi permasalahan dan fokus-pilih, mengolah pikiran sehingga muncul gagasan orisinil untuk menentukan solusi, presentasi dan diskusi.

24. TTW (Think Talk Write)
Pembelajaran ini dimulai dengan berpikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan alternative solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi, dan kemudian buat laporan hasil presentasi. Sintaknya adalah: informasi, kelompok (membaca-mencatatat-menandai), presentasi, diskusi, melaporkan.

25. TS-TS (Two Stay – Two Stray)
Pembelajaran model ini adalah dengan cara siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali ke kelompok asal, kerja kelompok, laporan kelompok.

26. CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending)
Sintaknya adalah (C) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (0) organisasi ide untuk memahami materi, (R) memikirkan kembali, mendalami, dan menggali, (E) mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.

27. SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review)
Pembelajaran ini adalah strategi membaca yang dapat mengembangkan meta kognitif siswa, yaitu dengan menugaskan siswa untuk membaca bahan belajar secara seksama-cermat, dengan sintaks: Survey dengan mencermati teks bacaan dan mencatat-menandai kata kunci, Question dengan membuat pertanyaan (mengapa-bagaimana, darimana) tentang bahan bacaan (materi bahan ajar), Read dengan membaca teks dan cari jawabanya, Recite dengan pertimbangkan jawaban yang diberikan (catat-bahas bersama), dan Review dengan cara meninjau ulang menyeluruh

28. SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review)
SQ4R adalah pengembangan dari SQ3R dengan menambahkan unsur Reflect, yaitu aktivitas memberikan contoh dari bahan bacaan dan membayangkan konteks aktual yang relevan.
29. MID (Meaningful Instructionnal Design)
Model ini adalah pembelajaran yang mengutamakan kebermaknaan belajar dan efektifivitas dengan cara membuat kerangka kerja-aktivitas secara konseptual kognitif-konstruktivis. Sintaknya adalah (1) lead-in dengan melakukan kegiatan yang terkait dengan pengalaman, analisis pengalaman, dan konsep-ide; (2) reconstruction melakukan fasilitasi pengalaman belajar; (3) production melalui ekspresi-apresiasi konsep

30. KUASAI
Pembelajaran akan efektif dengan melibatkan enam tahap berikut ini, Kerangka pikir untuk sukses, Uraikan fakta sesuai dengan gaya belajar, Ambil pemaknaan (mengetahui-memahami-menggunakan-memaknai), Sertakan ingatan dan hafalkan kata kunci serta koneksinya, Ajukan pengujian pemahaman, dan Introspeksi melalui refleksi diri tentang gaya belajar.

31. CRI (Certainly of Response Index)
CRI digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran yang berkenaan dengan tingkat keyakinan siswa tentang kemampuan yang dimilkinya untuk memilih dan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hutnal (2002) mengemukakan bahwa CRI menggunakan rubric dengan penskoran 0 untuk totally guested answer, 1 untuk amost guest, 2 untuk not sure, 3 untuk sure, 4 untuk almost certain, dn 5 untuk certain.

32. DLPS (Double Loop Problem Solving)
DPLS adalah variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah dengan penekanan pada pencarian kausal (penyebab) utama daritimbulnya masalah, jadi berkenaan dengan jawaban untuk pertanyaan mengapa. Selanutnya menyelesaikan masalah tersebut dengan cara menghilangkan gap yang menyebabkan munculnya masalah tersebut.
Sintaknya adalah: identifkasi, deteksi kausal, solusi tentative, pertimbangan solusi, analisis kausal, deteksi kausal lain, dan rencana solusi yang terpilih. Langkah penyelesaian masalah sebagai berikut: menuliskan pernyataan masalah awal, mengelompokkan gejala, menuliskan pernyataan masalah yang telah direvisi, mengidentifikasi kausal, implementasi solusi, identifikasi kausal utama, menemukan pilihan solusi utama, dan implementasi solusi utama.

33. DMR (Diskursus Multy Reprecentacy)
DMR adalah pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan, dan pemanfaatan berbagai representasi dengan setting kelas dan kerja kelompok. Sintaksnya adalah: persiapan, pendahuluan, pengembangan, penerapan, dan penutup.

34. CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition)
Terjemahan bebas dari CIRC adalah komposisi terpadu membaca dan menulis secara koperatif –kelompok. Sintaksnya adalah: membentuk kelompok heterogen 4 orang, guru memberikan wacana bahan bacaan sesuai dengan materi bahan ajar, siswa bekerja sama (membaca bergantian, menemukan kata kunci, memberikan tanggapan) terhadap wacana kemudian menuliskan hasil kolaboratifnya, presentasi hasil kelompok, refleksi.

35. IOC (Inside Outside Circle)
IOC adalah model pembelajaran dengan sistim lingkaran kecil dan lingkaran besar (Spencer Kagan, 1993) di mana siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda dengan singkat dan teratur. Sintaksnya adalah: Separuh dari jumlah siswa membentuk lingkaran kecil menghadap keluar, separuhnya lagi membentuk lingkaran besar menghadap ke dalam, siswa yang berhadapan berbagi informasi secara bersamaan, siswa yang berada di lingkaran luar berputar kemudian berbagi informasi kepada teman (baru) di depannya, dan seterusnya.

36. Tari Bambu
Model pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi informasi pada saat yang bersamaan dengan pasangan yang berbeda secara teratur. Strategi ini cocok untuk bahan ajar yang memerlukan pertukaran pengalaman dan pengetahuan antar siswa. Sintaksnya adalah: Sebagian siswa berdiri berjajar di depan kelas atau di sela bangku-meja dan sebagian siswa lainnya berdiri berhadapan dengan kelompok siswa pertama, siswa yang berhadapan berbagi pengalaman dan pengetahuan, siswa yang berdiri di ujung salah satu jajaran pindah ke ujung lainnya pada jajarannya, dan kembali berbagai informasi.

37. Artikulasi
Artikulasi adlah model pembelajaran dengan sintaks: penyampaian kompetensi, sajian materi, bentuk kelompok berpasangan sebangku, salah satu siswa menyampaikan materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan.

38. Debate
Debat adalah model pembalajaran dengan sisntaks: siswa menjadi 2 kelompok kemudian duduk berhadapan, siswa membaca materi bahan ajar untuk dicermati oleh masing-masing kelompok, sajian presentasi hasil bacaan oleh perwakilan salah satu kelompok kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya begitu seterusnya secara bergantian, guru membimbing membuat kesimpulan dan menambahkannya biola perlu.

39. Role Playing
Sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan skenario pembelajaran, menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario tersebut, pembentukan kelompok siswa, penyampaian kompetensi, menunjuk siswa untuk melakonkan skenario yang telah dipelajarinya, kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon, presentasi hasil kelompok, bimbingan kesimpulan dan refleksi.

40. Talking Stick
Sintak pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan tongkat, sajian materi pokok, siswa membaca materi lengkap pada wacana, guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada siswa dan siswa yang kebagian tongkat menjawab pertanyaan dari guru, tongkat diberikan kepada siswa lain dan guru memberikan pertanyaan lagi dan seterusnya, guru membimbing kesimpulan-refleksi-evaluasi.

41. Snowball Throwing
Sintaknya adalah: Informasi materi secara umum, membentuk kelompok, pemanggilan ketua dan diberi tugas membahas materi tertentu di kelompok, bekerja kelompok, tiap kelompok menuliskan pertanyaan dan diberikan kepada kelompok lain, kelompok lain menjawab secara bergantian, penyimpulan, refleksi dan evaluasi.

42. Student Facilitator and Explaining
Langkah-langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian materi, siswa mengembangkannya dan menjelaskan lagi ke siswa lainnya, kesimpulan dan evaluasi, refleksi.

43. Course Review Horay
Langkah-langkahnya: informasi kompetensi, sajian materi, tanya jawab untuk pemantapan, siswa atau kelompok menuliskan nomor sembarang dan dimasukkan ke dalam kotak, guru membacakan soal yang nomornya dipilih acak, siswa yang punya nomor sama dengan nomor soal yang dibacakan guru berhak menjawab jika jawaban benar diberi skor dan siswa menyambutnya dengan yel hore atau yang lainnya, pemberian reward, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

44. Demostration
Pembelajaran ini khusus untuk materi yang memerlukan peragaan media atau eksperimen. Langkahnya adalah: informasi kompetensi, sajian gambaran umum materi bahan ajar, membagi tugas pembahasan materi untuk tiap kelompok, menunjuk siswa atau kelompok untuk mendemonstrasikan bagiannya, dikusi kelas, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

45. Explicit Instruction
Pembelajaran ini cocok untuk menyampaikan materi yang sifatnya algoritma-prosedural, langkah demi langkah bertahap. Sintaknya adalah: sajian informasi kompetensi, mendemontrasikan pengetahuan dan ketrampilan prosedural, membimbing pelatihan-penerapan, mengecek pemahaman dan balikan, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

46. Scramble
Sintaknya adalah: buatlah kartu soal sesuai marteri bahan ajar, buat kartu jawaban dengan diacak nomornya, sajikan materi, membagikan kartu soal pada kelompok dan kartu jawaban, siswa berkelompok mengerjakan soal dan mencari kartu soal untuk jawaban yang cocok.

47. Pair Checks
Siswa berkelompok berpasangan sebangku, salah seorang menyajikan persoalan dan temannya mengerjakan, pengecekan kebenaran jawaban, bertukar peran, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

48. Make-A Match
Guru menyiapkan kartu yang berisi persoalan-permasalahan dan kartu yang berisi jawabannya, setiap siswa mencari dan mendapatkan sebuah kartu soal dan berusaha menjawabnya, setiap siswa mencari kartu jawaban yang cocok dengan persoalannya siswa yang benar mendapat nilai-reward, kartu dikumpul lagi dan dikocok, untuk babak berikutnya pembelajaran seperti babak pertama, penyimpulan dan evaluasi, refleksi.

49. Mind Mapping
Pembelajaran ini sangat cocok untuk mereview pengetahuan awal siswa. Sintaknya adalah: informasi kompetensi, sajian permasalahan terbuka, siswa berkelompok untuk menanggapi dan membuat berbagai alternatif jawaban, presentasi hasil diskusi kelompok, siswa membuat kesimpulan dari hasil setiap kelompok, evaluasi dan refleksi.

50. Examples Non Examples
Persiapkan gambar, diagram, atau tabel sesuai materi bahan ajar dan kompetensi, sajikan gambar ditempel atau pakai OHP, dengan petunjuk guru siswa mencermati sajian, diskusi kelompok tentang sajian gambar tadi, presentasi hasil kelompok, bimbingan penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

51. Picture and Picture
Sajian informasi kompetensi, sajian materi, perlihatkan gambar kegiatan berkaitan dengan materi, siswa (wakil) mengurutkan gambar sehingga sistematik, guru mengkonfirmasi urutan gambar tersebut, guru menanamkan konsep sesuai materi bahan ajar, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

52. Cooperative Script
Buat kelompok berpasangan sebangku, bagikan wacana materi bahan ajar, siswa mempelajari wacana dan membuat rangkuman, sajian hasil diskusi oleh salah seorang dan yang lain menanggapi, bertukar peran, penyimpulan, evaluasi dan refleksi.

53. LAPS-Heuristik
Heuristik adalah rangkaian pertanyaan yang bersifat tuntunan dalam rangka solusi masalah. LAPS ( Logan Avenue Problem Solving) dengan kata Tanya apa masalahnya, adakah alternative, apakah bermanfaat, apakah solusinya, dan bagaimana sebaiknya mengerjakannya. Sintaks: pemahaman masalah, rencana, solusi, dan pengecekan.

54. Improve
Improve singkatan dari Introducing new concept, Metakognitive questioning, Practicing, Reviewing and reducing difficulty, Obtaining mastery, Verivication, Enrichment. Sintaknya adalah sajian pertanyaan untuk mengantarkan konsep, siswa latihan dan bertanya, balikan-perbaikan-pengayaan-interaksi.

55. Generatif
Basis generatif adalah konstruksivisme dengan sintaks orintasi-motivasi, pengungkapan ide-konsep awal, tantangan dan restrukturisasi sajian konsep, aplikasi, rangkuman, evaluasi, dan refleksi

56. Circuit Learning
Pembelajaran ini adalah dengan memaksimalkan pemberdayaan pikiran dan perasaan dengan pola bertambah dan mengulang. Sintaknya adalah kondisikan situasi belajar kondusif dan fokus, siswa membuat catatan kreatif sesuai dengan pola pikirnya-peta konsep-bahasa khusus, Tanya jawab dan refleksi

57. Complette Sentence
Pembelajaran dengan model melengkapi kalimat adalah dengan sintaks: sisapkan blanko isian berupa paragraf yang kalimatnya belum lengkap, sampaikan kompetensi, siswa ditugaskan membaca wacana, guru membentuk kelompok, LKS dibagikan berupa paragraph yang kaliatnya belum lengkap, siswa berkelompok melengkapi, presentasi.

58. Concept Sentence
Prosedurnya adalah penyampaian kompetensi, sajian materi, membentuk kelompok heterogen, guru menyiapkan kata kunci sesuai materi bahan ajar, tiap kelompok membuat kalimat berdasarkan kata kunci, presentasi.

59. Time Token
Model ini digunakan (Arebds, 1998) untuk melatih dan mengembangkan keterampilan sosial agar siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Langkahnya adalah kondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi, tiap siswa diberi kupon bahan pembicaraan (1 menit), siswa berbicara (pidato-tidak membaca) berdasarkan bahan pada kupon, setelah selesai kupon dikembalikan.

60. Take and Give
Model pembelajaran menerima dan memberi adalah dengan sintaks, siapkan kartu dengan yang berisi nama siswa - bahan belajar - dan nama yang diberi, informasikan kompetensi, sajian materi, pada tahap pemantapan tiap siswa disuruh berdiri dan mencari teman dan saling informasi tentang materi atau pendalaman-perluasannya kepada siswa lain kemudian mencatatnya pada kartu, dan seterusnya dengan siswa lain secara bergantian, evaluasi dan refleksi

61. Superitem
Pembelajaran ini dengan cara memberikan tugas kepada siswa secara bertingkat-bertahap dari simpel ke kompleks, berupa pemecahan masalah. Sintaksnya adalah ilustrasikan konsep konkret dan gunakan analogi, berikan latihan soal bertingkat, berikan soal tes bentuk super item, yaitu mulai dari mengolah informasi-koneksi informasi, integrasi, dan hipotesis.

62. Hibrid
Model hibrid adalah gabungan dari beberapa metode yang berkenaan dengan cara siswa mengadopsi konsep. Sintaknya adalah pembelajaran ekspositori, koperatif-inkuiri-solusi-workshop, virtual workshop menggunakan computer-internet.

63. Treffinger
Pembelajaran kreatif dengan basis kematangan dan pengetahuan siap. Sintaks: keterbukaan-urutan ide-penguatan, penggunaan ide kreatif-konflik internal-skill, proses rasa-pikir kreatif dalam pemecahan masalah secara mandiri melalui pemanasan-minat-kuriositi-tanya, kelompok-kerjasama, kebebasan-terbuka, reward.

64. Kumon
Pembelajaran dengan mengaitkan antar konsep, ketrampilan, kerja individual, dan menjaga suasana nyaman-menyenangkan. Sintaksnya adalah: sajian konsep, latihan, tiap siswa selesai tugas langsung diperiksa-dinilai, jika keliru langsung dikembalikan untuk diperbaiki dan diperiksa lagi, lima kali salah guru membimbing.

65. Quantum
Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni. Guru harus menciptakan suasana kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif, dan saling menghargai. Prinsip quantum adalah semua berbicara-bermakna, semua mempunyai tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi reward. Strategi quantum adalah tumbuhkan minat dengan AMBak, alami-dengan dunia realitas siswa, namai-buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui presentasi-komunikasi, ulangi dengan Tanya jawab-latihan-rangkuman, dan rayakan dengan reward dengan senyum-tawa-ramah-sejuk-nilai-harapan.

Model skenario Pembelajaran Strategi Ekspositori


Model skenario Pembelajaran
Strategi Ekspositori
Nama : Dzul Ilham F
NIM : HID1001157
Kelas : PGSD D

MP : Ilmu Pengetahuan Sosial
Kelas : 5 SD
Topik : Keragaman suku di Indonesia
Kompetensi : Siswa dapat memahami dan menjelaskan keragaman suku bangsa di Indonesia
Indikator : Siswa dapat menyebutkan suku bangsa di Indonesia
Siswa dapat menjelaskan suku bangsa di Indonesia
Siswa dapat memahami keragaman suku bangsa di Indonesia
Siswa dapat menghormati antar suku di Indonesia dalam kehidupan sehari hari
Materi : Persebaran suku bangsa di Indonesia
Keragaman suku bangsa di Indonesia
Sikap menghormati antar suku bangsa di Indonesia


  1. Pendahuluan
Assalamualaikum wr.wb
Selamat pagi anak anak, apa kabar ?

Tahukah kalian perbedaan adalah suatu yang alami dan wajar, dan pernahkah kalian mengamati tentang sekeliling kalian adakah perbedaan atau persamaan di antara kalian, mungkin ada yang berambut keriting, kulit putih, coklat, atau hitam. Perbedaan warna kulit atau fisik jangan di jadikan sumber perpecahan, Indonesia adalah negara yang kaya akan suku bangsa. Ada suku bali, jawa, banjar, dan sebagainya. Kita akan mempelajari bagaimana keragaman suku bangsa dan dapat mengetahui suku bangsa apa saja yang hidup di Indonesia

  1. Kegiatan Inti
Sebelum bapak menjelaskan tentang persebaran suku bangsa di Indonesia, coba kalian baca terlebih dahulu buku yang kalian pegang. Di halaman 30.dan perhatikan contoh gambar keaneka ragaman suku bangsa di Indonesia.
Bangsa Indonesia berasal Yunan, yang salah satunya adalah bangsa melayu berdasarkan ciri kebudayaan yang di miliki bangsa Melayu. Di bedakan menjadi dua yaitu melayu tua dan muda. Melayu tua diantaranya suku Batak, Dayak, dan Toraja. Melayu muda diantaranya suku Bugis, Minangkabau, Jawa, Sunda, Bali, Makasar, dan Buton. Selain suku suku tersebut ada juga suku bangsa keturunan.
Coba kalian sebutkan suku suku tersebut !
Apakah kalian sudah paham apa yang bapak jelaskan. Jika sudah paham mari kita lanjutkan lagi
Bangsa Indonesia bangsa yang berneka ragam suku jadi kita harus menghormati keanekaragaman tersebut, dengan tidakk merendahkan suku bangsa lain, menghargai, dan mengakui keberadaan serta tidak mengusik perbedaan tersebut.


  1. Penutup
Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman suku dan budaya, ada suku jawa, batak, sunda, bali, dan lain lain. Nenek moyang bangsa indonesia berasal dari Yunan salah satunya adalah bangsa Melayu. Sikap menghormati adalah sikap menghargai dan mengakui keberadaan harkat dan martabat manusia meski berbeda suku bangsa. Apakah ada yang kalian tidak mengerti? Silahkan tanyakan dari sekarang.
Sebelum kalian pulang ada tugas dari bapak. Di kumpulkan minggu depan
Soal
Sebutkan kebudayaan yang ada di daerah tempat tinggal kalian yang meliputi
  1. Suku
  2. Seni tari
  3. Lagu daerah
  4. Senjata tradisional
  5. Pakaian adat
  6. Rumah adat
  7. Dan makanan khas
Wassalamualaikum Wr.Wb

Jumat, 30 September 2011

paradigma pendidikan ips di indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
      Kenyataan menunjukkan bahwa program )pendidikan) Ilmu-Ilmu Sosial (IIS), Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS), dan Pendidikan Disisplin Ilmu Pengetahuan Soail (PIPS) telah menjadi bagian dari wacana kurikulum system pendidikan Indonesia.
      Secara kelembagaan, IIS dikelola dan dibina di fakultas-fakultas keilmuan social dan humaniora murni. IIs yang dikelola dan dibina di semua fakultas tersebut mencakup pendidikan ilmu geografi, ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu pemerintahan, ilmu hokum, ilmu komunikasi, dan pisikologi. Masing-masing program pendidikan bertujuan menghasilkan ilmuwan sosila dalam berbagai tingkat.
        Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) merupakan program pendidikan sosial pada jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah yang mencakup mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), IPS terpadu di Sekolah Dasar (SD) dan paket A luar sekolah ; IPS terkolerasi di Sekolah Tingkat Lanjutan Pertama (SLTP) dan paket B Luar Sekolah, yang didalamnya mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi, dan IPS terpisah di Sekolah Menengah Umum (SMU) yang terdiri dari mata pelajaran geografi, sejarah, antropologi, sosiologi, ekonomi dan tata negara. Tujuan utama program pendidikan tersebut adalah menyiapkan peserta didik sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang baik dan memberi dasar pengetahuan dalam masing-masing bidangnya untuk kelanjutan pendidikan jenjang di atasnya.
        Sementara itu, PDIPS pada dasarnya merupakan program pendidikan guru IPS yang dikelola dan dibina di Fakultas Pendidikan IPS Institut Keguruna dan Ilmu Pendidikan (IKIP), dan di Jurusan Pendidikan IPS Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) atau Fakults Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) suatu universitas. Tujuan utama programa ini adalah menghsilkan guru IPS dan PPKn yang pada dasarnya menguasai konsep-konsep esensial ilmu-ilmu social dan materi disiplin ilmu lainnya yang terkait, dan mampu membelajarkan peserta didiknya secara bermakna.
  1. Rumusan Masalah
      Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana paradigm pendidikan IPS di Indonesia?
  1. Tujuan Penulisan
      Tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai pengantar bagi para guru IPS agar memahami lebih jauh dan selanjutnya dapat menjelaskan Konsep Pengajaran IPS sebagai suatu bidang yang memusatkan perhatian pada berbagai masalah konseptual.

BAB II
PEMBAHASAN
    1. Pengertian IPS
      Seperti halnya IPA, Matematika, Bahasa Indonesia, IPS merupakan bidang studi. Dengan demikian IPS sebagai ilmu studi memiliki garapan yang dipelajari cukup luas. Bidang garapannya itu meliputi gejala-gejala dan masalah kehidupan manusia di masyarakat. Tekanan yang dipelajari IPS berkenaan dengan gejala dan maslah kehidupan masyarakat bukan pada teori dan keilmuannya, melainkan pada kenyataan kehidupankemasyarakatan. Dari gejala dan amsalah social tadi ditelaah, dianalisis factor-faktornya, sehingga dapat dirumuskan jalan pemecahannya.
      Menurut Ischak, dkk (2005: 1.36), IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala dan masalah sosialdi masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan atau suatu perpaduan. Sifat IPS sama dengan studi social yaitu praktis, interdisipliner dan dianjurkan mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
    1. Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia
Menurut Udin S. Winataputra (2009: 1.39), perkembangan social studies melukiskan bagaimana pada dunia persekolahan telah menjadi dasar ontologi dari suatu sistem pengetahuan terpadu, yang secara etistimologis telah mengarungi suatu perjalanan pemikiran dalam kurun waktu 60 tahun lebih yang dimotori dan diwadahi oleh NCSS (National Council for the Social Studies)  sejak tahun 1935. Pemikiran tersebut secara tersurat dan tersirat merentang dalan suatu kontinum gagasan “social studies” Edgar Bruce Wesley (1935) sampai kegagasan “social studies” terbaru dari NCSS tahun 1994.
     Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran social studies di Amerika Serikat yang kita anggap sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidag itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis antara lain diplubikasikan oleh NCSS sejak pertemuan organisasi tersebut untuk pertama kalinya tanggal 28-30 November 1935 sampai sekarang. Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat sukar karena dua alasan. Pertama, di Indonesia belum ada lembaga profesional bidang pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana Pendidiksn IPS Indonesia) usianya masih sangat muda dan poduktifitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan dan konumikasi antar anggota secara insidental. Kedua, perkembangan kurikulum dam pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (PUSKUR). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies Curriculum Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amreika.
     Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS daam dunia persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah adan penelitian yang relevan di bidang itu.
     Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut  Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai yakni “pengetahuan social, studi social, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah social yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah social itu dapat dipahami siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosila sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut  dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan mudah dapat diterima dengan sedikit komentar.
     Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim pemnegmbang kurikulum tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran social terpadu. Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oelh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar Menuju Sekolah Komprehensif”.
     Sedangakn dalam Kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun, dugunakan tiga istilah yakni (1) Studi Sosial sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk kelompok mata pelajaran social yang terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai amat pelajaran major pada jurusan IPS; (2) Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan; dan (3) Civics dan Hukum sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS.
     Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini, konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk yakni, (1) pendidikan IPS terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial; (2) pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya digunakan sebagai patung untuk mata pelajaran geografi, sejarah dan ekonomi; dan (3) pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus.
     Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap Kurikulum 1975, yang emang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadai tradisi citizenship traansmission; (2) Pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungimata pelajaran Geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG (Dep. P dan K,1975a; 1975b, 1975c; dan 1976). Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Penyempurnaan  yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru dalam masing-masing disiplin, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) sebagai materi pokok Pendidikan Moral Pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahan yng mendasar.
     Dengan berlakunya Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam wacana pendidikan IPS muncul dua bahan kajian kurikuler pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian ketika ditetapkannya Kurikulum 1994 mnggantikan kurikulum 1984, kedua bahan tersebut dilembagakan menjadi satu pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap merupakan bidang pendidikan IPS yang khusus mewadai tradisi citizenship transmission dengan muatan utama butir-butir nilai Pancasila yang diorganisasikan dengan menggunakan pendekatan spiral of concept development ala Taba (Taba:1967) dan expanding environment approach” ala Hanna (Dufty; 1970) dengan bertitik tolak dari masing-masing sila Pancasila.
     Di dalam Kuikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan pelajaran social khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS  terpadu di SD kelas III s/d kelas VI; kedua, pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan IPS terpisah-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Dan Antropologi di kelas III Program IPS.
     Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran social memiliki tujuan yang bervariasi. Mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum bertujuan untuk”….menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan hubungan masyarakat antar bangsa di dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24). Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan kewarganegaraan atau tradisi “citizenship transmission” (Barr, dan kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk memberikan pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan menerapkannya dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara kritis dan objektif (Depdikbud, 1993:29). Sedang untuk program IPS mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk “….memberikan bekal kepada siswa mengenal beberapa konsep dan teori ekonomi sederhana untuk menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi yang dihadapi”  (Depdikbud, 1993: 29). Dari rumusan tujuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan Ekonomi di SMU baik untuk program umum maupun untuk program IPS mengisyaratkan diterapkannya tradisi social studies taught as social science ( Barr, dan kawan-kawan: 1978).
     Tradisi  ini tampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Tata Negara, Sejarah budaya dan Antropologi sebagai mana dapat dikaji dari masing-masing tujuannya. Mata palajaran Soaiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang muncul seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya sosial budaya sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat” (Depdikbud, 1993: 30). Sementara itu mata pelajaran kemampuan dan sikap rasional yang bertanggung jawab dalam menghadapi gejala alam dan kehidupan di muka bumi serta permasalahannya yang timbul akibat interaksi antara manusia dengan lingkungannya” (Depdikbud, 1993: 30). Sedangkan mata pelajaran Tata negara menggariskan tujuan”…untuk meningkatkan kemampuan agar siswa memahami penyelenggaraan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan, sistem pemerintahan Negara RI maupun negara lain” (Depdikbud, 1993: 31).
     Hal yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk menanamkan pengertian adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang sehingga siswa menyadari dan menghargai hasil dan nilai budaya pada masa lampau dan masa kini (Depdikbud, 1993: 31). Demikian juga dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas diorentasikan pada upaya untuk memberikan pengetahuan mengenai proses terjadinya kebudayaan, pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari; menanamkan kesadaran perlunya menghargai nilai-nilai budaya suatu bangsa, terutama bangsa sendiri, dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk menanamkan kesadaran tentang peranan kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat serta dampak perubahan kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat (Depdikbud, 1993: 33).
     Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmission”  dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD.
     Dalam pembahasannya tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan) Sosial”, Achmad Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP, menyinggung sekidit tentang pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak miskonsepsi; situasi kesal yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru dari sumber lain; ketidakmutahiran sumber belajar yang ada; sistem ujian yang sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang “mengelit-bawang”; rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai akibat dari amat lunaknya isi pelajaran, kontradiksi materi dengan kenyataan,dominannya latihan berfikir taraf rendah, guru yang tidak tangguh, persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu mengembangkan kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media dan sumber belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu perlu diperlukan upaya peningkatan dukungan sarana dan prasarana serta insentif yang fair. Dalam dimensi konseptual, Sanusi (1998: 242-247) menyarankan perlunya batasab yang jelas mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemilihan dan pengoranisasian tema-tema pembelajaran yang dinilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan dalam masyarakat.
     Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS tampaknya telah berulang kali dibahas dalam rangkaian pertemuan ilmiah yakni Pertemuan HISPIPSI pertama tahun 1989 di Bandung, Forum Komunikasi Pimpinan FPIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu marei yang selalu menjadi agenda pembahasan adalah mengenai konsep PIPS. Dalam pertemuan Ujung Pandang tahun 1993, M. Numan Somantri selaku pakar dan Ketua HISPIPSI (Somantri: 1993) kembah menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam Pertemuan Yogyakarta tahun 1991, sebagai berikut:
     “Versi PIPS Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah:
     PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia, yang diorganisasi dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan”.
     “Versi PIPS Untuk HIPS dan Jurusan Pendidikan IPS-IKIP:
     PIPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologi untuk tujuan pendidikan”.
     Kelihatannya HISPIPSI ingin mencoba menjernihkan pengertian PIPS dengan cara menggunakan label yang sama, yakni PIPS tetapi dengan dua versi pengertian, yakni pengertian PIPS untuk pendidikan persekolahan dan untuk pendidikan tinggi untuk guru IPS di IKIP/STKIP/FKIP. Dari dua versi pengertian itu, yang membedakan adalah dalam format sistem pengetahuannya. Untuk dunia persekolahan merupakan penyederhanaan, atau sama dengan gagasan Wesley (1937) dengan konsep “social sciences simplifield …”, sedang untuk pendidikan guru IPS berupa seleksi. Namun, rasanya perbedaannya tidak begitu jelas, kecuali seperti dikatakan oleh Somantri (1993: 8) dalam tingkat kesukarannya sesuai dengan jenjang pendidikan itu, yakni di dunia persekolahan disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, sedang di perguruan tinggi disesuaikan dengan taraf pendidikan tinggi. Penjelasan ini menurut penulis terkesan bersifat tautologis. Kedua versi pengertian PIPS tersebut masih dipertahankan sampai dalam Petermuan Terbatas HISPISI di Universitas Terbuka Jakarta tahun 1998 (Somantri, 1998 : 5- 6), dan disepakati akan menjadi salah satu esensi dari “position paper” HISPIPSI tentang Disiplin PIPS yang akan diajukan kepada LIPI.
     Jika dilihat dari pokok- pokok pikiran yang diajukan oleh Numan Soemantri selaku ketua HISPIPSI ( Somantri: 1998) Position Paper itu akan menyajikan penegasan mengenai kedudukan PIPS sebagai synthetic discipline atau menurut Hartonian (1992) sebagai integrated system of knowledge. Oleh karena itu, PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan guru IPS, direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disipln ilmu sehingga menjadi pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial disingkat menjadi PDIPS. Dengan demikian kelihatannya HISPIPSI akan memegang dua konsep, yakni konsep PIPS untuk dunia persekolahan, dan konsep PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS. Yang masih perlu dikembangakan adalah logika internal atau struktur dari kedua sistem pengetahuan tersebut. Dengan demikian masing-masing memiliki jati diri konseptual yang unik dann dapat dipahami lebih jernih.
     Tentang kedudukan PIPS/PDIPS dalam konteks yang lebih luas tampaknya cukup prospektif Misalnya, Dalam (1997) melihat PIPS sebagai upaya strategis pembangunan manusia seutuhnya untuk menghadapi era globalisasi. Sementara itu Tsauri (1997:1) yang mengutip pemikiran Affian ketika mengenang tokoh LIPI Profesor Darwono Prawirohardjo, melihat peranan PIPS dalam perspektif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, yang seyogyanya memusatkan perhatian pada upaya pengembangan disiplin yang kuat, ketekunan yang luar biasa, integritas diri yang kukuh, wibawa yang mantap, rasa tanggung jawab yang tinggi, dan pengabdian yang dalam.
     Dilihat dari perkembangan permikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni : Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan pesekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yag pada daarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari limu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
     PIPS untuk dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik pedagogis yakni : pertama, PIPS dalam tradisi “citizenship transmission”  dalam bentuk mata pelajran pendidikan Pancasiala dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia; dan kedua PIPS dalam tradisi “social science”  dalam bentuk mata pelajaran IPS Terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS Terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi pengembangan manusia indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN dan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
     Perkembangan pemikiran mengenai PIPS ini amat berpengaruh pada pemikiran PDIPS di IKIP/FKIP/STKIP.
     Dalam konteks perkembangan pendidikan “social studies” di Amerika atau “Pendidikan IPS” di Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai “citizenship education” atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses social studies atau “pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies”  atau “Pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini sejak awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah menunjukkan keunikan dan kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan dengan perkembangan konsep dan praksisi demokrasi,  terus berkembang sebagai suatu bidang kajian dan program pendidikan yang dikenal dengan citizenship education atau civic education, atau unuk Indonesia dikenal dalam label yang berubah – ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewargenagaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
     Jika dikaji dengan cermat dalam konteks perkembangan social studies ternyata citizenship education yang pada dasarnya berintikan pengembangan warga negara agar mampu hidup secara demokratis merupakan bagian yang sangat penting dalam social studies. Hal itu dapat disimak sejak social studies mulai diwacanakan tahun 1937 oleh Edgar Bruce Wesley, yang definisinya tentang social studies dianggap sebagai pilar epistemologis pertama, sampai dengan munculnya paradigma social studies dari NCSS tahun 1994. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa esensi pendidikan demokrasi sesungguhnya merupakan bagian integral dari “social studies”.
     Bidang kajian dan program pendidikan demokrasi dalam bentuk kemasan “Citizenship education” maupun “Civic Education” atau pendidikan kewarganeraan ini, kini kelihatan semakin banyak dikembangkan baik di negara demokrasi yang sudah maju muupun negara yang sedang merintis atau meningkatkan diri kearah itu. Hal itu sejalan dengan berkembangnya proses demokratisasi yang kini telah menjadi gerakan sosial-politik dan sosial-budaya yang mendunia.
     Menyimak perkembangan “social studies” secara umum dan Pendidikan IPS di Indonesia sampai saaat ini maka perlu adaya reorientasi pendidikan IPS sebagai berikut.
  1. Menegaskan kembali visi pendidikan IPS sebagai program pendidikan yang menitikberatkan pada pengembangan individu siswa sebagai “aktor sosial” yang mampu mengambil keputusan yang bernalar dan sebagai “warga negara yang cerdas, memiliki komitmen, bertanggung jawab, dan partisipatif”.
  2. Menegaskan kembali misi pendidikan IPS untuk memanfaatkan konsep, prinsip dan metode ilmu-ilmu sosial dan bidang keilmuan lain untuk mengembangkan karakter aktor sosial dan warga negara Indonesia yang cerdas dan baik.
  3. Memantapkan kembali tradisi pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan yang diwadahi oleh mata Pelajaran Kewarganegaraan dan sebagai Pendidikan sosial yang diwadahi oleh mata pelajaran IIPS   terpadu dan mata pelajaran ILPS Terpisah.
  4. Menata kembali sarana programatik pendidikan IPS untuk berbagai jenjang pendidikan (Kurikulum, Satuan Pelajaran, dan Buku Teks) sehingga memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan IPS.
  5. Menata kembali sistem pengadaan dan penyegaran guru pendidikan IPS sehingga dapat dihasilkan calon guru pendidikan IPS yang profesional.
BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
     Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki penaglaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Seperti karya akademis yang dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS).
     Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam persekolahan terjadi pada tahun 1972-1973, yakini dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam kurikulum 1975 menampilkan empat profil yakni: 1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara; 2) Pendidikan terpadu untuk Sekolah Dasar; 3) Pendidikan IPS terkonvederansi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata pelajaran Geografi, Sejarah, dan Ekonomi Koperasi; dan 4) Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.
     Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: pertama, PIPS untuk dunia persekolah yang pada dasarnya merupakan penyederhanakan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relavan, untuk pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
  1. Saran
      Sebagai calon guru SD yang dicetak sebagai guru kelas (guru semua mata pelajaran, termasuk IPS), seharusnya kita mengetahui hal di atas sebagai pengantar agar memahami lebih jauh dan selanjutnya dapat menjelaskan Konsep Pengajaran IPS sebagai suatu bidang yang memusatkan perhatian pada berbagai masalah konseptual.