Kajian Antropologi Agama
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi
dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist,
structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama
dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang
intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap
masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development)
dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang
berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya
kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis
ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari
animisme sampai kepada agama monoteis. Kecenderungan tradisi intelektualisme
ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju
monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala
seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain.
Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme
dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam
kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme
kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
Ketiga teori; strukturalis, fungsionalis dan simbolis,
sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms
of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama.
Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling
sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Australia sampai ke agama yang well-structured
dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis.
Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya
distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia
tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu
bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan
bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal
yang profan semisal Kanguru. Di samping kritik terhadap pendekatan
intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat
dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial.
Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah
“struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral.” Pandangan
ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam
memahami agama dalam masyarakat.
Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang
terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban
hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam
bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam
masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss
kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran
sebagai struktur sosial. Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam
masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris.
Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium
dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog
untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut.
Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan
moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia
menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski
mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan
jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat
diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan
teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia
menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah
masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan
bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan
rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar
agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan
di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol
dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai
pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji
sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah
yang unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada
dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak
secara eksplisit. Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim
mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk
mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan
pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut
adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di
masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang
dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual
bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian
kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual utama, cult
ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan―
misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual
sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara
warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat
seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang
perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai
sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai
medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat
ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan
sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual dan tiga
tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis,―yang berakar dari tradisi
Durkheim―ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari
pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis
dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara
doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan
politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau
argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan antara
etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme
modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious
ethic dan kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu
muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi
tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai
dengan karakter buruh modern. Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak
diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika.
Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang
Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi
Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan
priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang
demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi
melihat sejauhmana agama―aspek idealisme―mempengaruhi perilaku sosial manusia.
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada
realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial,
pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi
teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam
kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial
empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan
kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga
menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia,
maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan
agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka
bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas
manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di
dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak
akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini
terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian
antropologi, menjadi sangat penting. Pentingnya mempelajari realitas manusia
ini juga terlihat dari pesan Al-Qur’an ketika membicarakan konsep-konsep
keagamaan. Al-Qur’an seringkali menggunakan “orang” untuk menjelaskan konsep
kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur’an menunjuk
pada konsep “muttaqien“, untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur’an menggunakan
kata “orang sabar” dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur’an yang
demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam
perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada
pemahaman realitas kemanusiaan. Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya
adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi
manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas
manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan (baca agama) dalam
realitas empiris.
Kenyataan bahwa realitas manusia―yang tercermin dalam
bermacam-macam budaya―beragam, maka diperlukan kajian cross culture
untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya
manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu (little tradition)
sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama (great tradition).
Kajian Islam Di Asia Tenggara
Satu hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim
Indonesia terhadap kenyataan sosial dari masyarakat Muslim di dunia sangat
kurang. Kalaupun kita mengaku kenal dengan Muslim di wiliyah lain, pengetahuan
mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka adalah sesama Muslim. Tetapi
jika ditanyakan tentang keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah
banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia
kurang memperhatikan masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya
saja bagaimana keadaan Islam di Iran dan bagaimana Islam berinteraksi dengan
budaya Persia, kurang sekali dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan
sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup banyak. Buku-buku yang ditulis oleh
antropolog tentang mereka cukup banyak. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa
kajian agama dengan menggunakan perspektif cross culture dibutuhkan
untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas.
Kajian agama dalam perspektif lintas budaya sangat
berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah yang luas. Pemahaman
tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap menghargai
terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas
budaya juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril
dari pengaruh budaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya di sini akan di
bahas Islam di Asia Tenggara.
Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu area
kajian, Islam di Asia Tenggara dan Indonesia khususnya pada awalnya tidak
menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam perkembanngannya, dengan memakai
ukuran apapun Islam di Asia Tenggara merupakan suatu komunitas Muslim penting.
Tidak saja karena jumlah penduduk Muslim yang hampir separuh dari penduduk
dunia Islam―dengan Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta―tetapi juga
karena perkembangan Islam di Asia Tenggara termasuk paling mengesankan. Jika
pada dekade 1980-an dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik sama
sekali―misalnya diungkapkapkan oleh Denys Lombard―ataupun dianggap sebagai
suatu komunitas Islam marginal―John L. Esposito―ataupun dianggap sebagai bukan
Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu menonjol, sekarang Islam di
Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus.
Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara
mendapat perhatian. Pertama, perkembangan Islam di Asia Tenggara
mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana global dunia. Dalam menyikapi
perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa dikatakan
sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan
ahli-ahlinya yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia
Tenggara dengan ide-ide gender, demokrasi, civil society ataupun human
rights menempatkan Islam Asia Tenggara sebagai pelopor, atau paling tidak
yang paling inten mengikuti perkembangan ide-ide global tersebut. Kedua,
corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima
ide-ide ilmu sosial yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish Madjid,
Kuntowijoyo, Anwar Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam
menerjemahkan maupun mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan
perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak teralineasi dari perkembangan global.
Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di wilayah Asia Tenggara tersebut
diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks yang empiris. Semaraknya
kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya di
Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut
aktif terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini. Ketiga, Islam
Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai Islam
lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara
budaya lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara,
memberikan suatu gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus
membentuk suatu komunitas religious.
Memang keunikan Islam di Asia Tenggara memberikan
citra yang kurang jika dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab.
Anthony Reid misalnya mengatakan bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih
menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua franca bagi komunikasi
Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi
Melayu―membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara
menyeluruh. Namun dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme yang
memberikan peranan besar terhadap local knowledge membuat Islam di Asia
Tenggara menjadi perbincangan yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan
intelektual Muslim Asia Tenggara yang toleran menerima bahkan tidak jarang yang
menjadi pembela ilmu-ilmu sosial Barat menempatkan Islam di Asia Tenggara
sebagai pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dan katakanlah modernisme.
Oleh karena itu kajian yang mendalam tentang perkembangan Islam di Asia
Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama
komunitas Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat penting.
Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan
untuk mengetahui lebih lanjut tentang Islam di Asia Tenggara. Pertama,
kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah sekian lama
berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak berlebihan
jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular
religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku
Melayu sebagai “menjadi Melayu.” Kedua, beragamnya corak suku etnis dan
bahasa yang ada di Asia Tenggara dapat dijadikan sebagai contoh untuk
mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam lokal di Asia
Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius
terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko―dan kemudian dia menulis suatu buku
yang bagus tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial―mengatakan bahwa
perkembangan Islam dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial;
historical experience dan gerational location (yang kedua ini dia
pinjam dari Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang melihat bahwa
wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan dari suatu kondisi sejarah
lingkungannya, Eickelman menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan
perlunya memahami suatu realitas sosial dari sudut experience (pengalaman)
dimana orang tersebut merasa, memahami dan mengamalkan suatu agama. Jadi
memahami suatu lokal Islam di suatu tempat harus mempertimbangkan sejarah
maupun pengalaman subjek yang mengalaminya. Sementara itu corak berpikir serta
pengalaman sosial juga sangat dipengaruhi oleh suatu generasi dimana ia hidup.
Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang Maroko dikuasai oleh wacana Sufi
(dalam istilah lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku keagamaan di
Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi. Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara
sangat dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Ketiga, sebagaimana
Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam yang begitu banyak
dikutip, utamanya kritik tajam dia terhadap Clifford Geertz, mengusulkan suatu
kajian Islam lintas wilayah dan budaya. Artinya bahwa keberadaan Islam yang
menyebar dari Maroko sampai ke Mindanao adalah sebuah tantangan bagi para
pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan fenomena tersebut. Tidak saja dari
sudut penyebarannya, melainkan dari sudut wujud lokal Islam yang menjadi ciri
khas dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa Islam di Spanyol telah
mewariskan suatu etika religious yang kental dalam proses pemunculan karya
seni, sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya puisi-puisi indah
tentang cinta ketuhanan. Hodgson berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam
itu tersembunyi suatu benang merah yang menyatukan Islam.
Kajian tentang agama dan budaya di Indonesia tentunya
dapat mengembangkan konsep-konsep di atas. Sebab bukan saja Islam di Indonesia
menawarkan suatu kekayaan realitas keagamaan, tetapi lebih dari itu Islam di
Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi dua hal. Pertama, model
untuk menjembatani antara budaya lokal dan Islam, mengingat Indonesia terdiri
dari beberapa etnis budaya. Perbedaan-perbedaan manifestasi Islam di setiap
wilayah akan memberikan model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam
lokal di Indonesia mungkin bisa dijadikan model untuk melihat hubungan antara
Islam dan dunia modern. Situasi pluralitas budaya Indonesia yang Islam dapat
dijadikan suatu model bagaimana negara Islam menerima ide-ide global. Misalnya
saja pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi akan sangat berarti bagi dunia
Muslim lainnya. Berikut ini―walaupun tidak baru―saya akan mencoba menawarkan
beberapa alternatif model riset yang pernah ditawarkan untuk meneliti Islam,
utamanya dalam hubungannya dengan budaya.
Islam popular dan Islam formal
Konsep Islam popular dan Islam formal diadopsi dari
konsep popular religion and official religion yang berkembang di
agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan yang berjenjang serta mempunyai “office”
(kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan agama. Konsep seperti
ini dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai sistem
eklestial pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran
suatu pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan
kependetaan inilah yang dianggap sebagai suara resmi, “offical,” gereja
tentang praktik agama yang benar. Tanpa persetujuan dari dewan gereja, maka
suatu pengalaman keagamaan dianggap tidak sah. Pengamalan keagamaan yang masuk
dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik keagamaan yang bercampur dengan
tradisi lokal, atau bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi keagamaan lokal
sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan dari kalangan awam yang melakukan
kegiatan keagaman model kedua ini maka julukan popular religion dipakai.
Walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal
suatu lembaga yang dapat mengklaim kebenaran suatu pengamalan agama, sifat dari
keputusan lembaga itu tidak dapat mengikat semua Muslim. Hal ini jelas berbeda
dengan tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai ukuran popular Islam adalah
praktik keagamaan yang telah bercampur dengan tradisi lokal, dalam Islam tentu
sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan yang tidak dipengaruhi oleh
tradisi lokal. Karena bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal
yang dapat dipakai untuk menghakimi mana yang official dan popular.
Meskipun demikian, dengan mengesampingkan perbedaan itu, beberapa ahli memakai
kerangka ini untuk meneliti tentang Islam.
Gambaran umum yang ditemui kemudian adalah bahwa
popular Islam itu berwujud praktik tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh
masyarakat bawah atau masyarakat kebanyakan. Misalnya saja Michael Gilsenan
meneliti Sufi di Mesir dan di Yaman, Eickelman di Maroko, Evans-Pritchard di
Libia, Trimingham di Afrika Timur dan yang lain-lainnya. Disamping itu, Jaques
Waardenburg juga memakai konsep popular Islam untuk meneliti dua hal. Pertama,
Waardenburg memakai konsep popular Islam untuk merujuk pada praktik-praktik
keagamaan yang bersifat lokal seperti ritual untuk memperingati kelahiran Nabi,
ritual untuk menghormati kehidupan Sufi dan tradisi-tradisi keagamaan yang
merakyat. Kedua, gerakan-gerakan keagamaan semacam ratu adil,
milleniarisme, kuktus-kultus Sufi dan tokoh agama tertentu.
Contoh yang baik tentang kajian popular dan official
ini mungkin Ernest Gellner dalam bukunya Saint of The Atlas dan teori
pendulum swing-nya. Gellner dalam kajiannya menunjukkan bahwa dua
kategori tersebut dapat diartikan sebagai perwujudan dari dua tradisi, little
tradition and great tradition, istilah yang dikembangkan oleh Robert
Redfield. Popular Islam adalah cerminan dari wujudnya little
tradition dalam Islam yang dalam bentuknya terlihat jelas dalam praktik
Sufi atau pengamalan keagamaan yang berpusat pada tokoh-tokoh kharismatik.
Sementara Offical Islam tercermin dalam kehidupan para intelektual Islam
yang cenderung berfikir formal dan legalistik yang dikategorikan oleh Gellner
sebagai Muslim yang lebih berorientasi pada syari’ah. Bagi Gellner dua
kecenderungan ini dalam elit agama direpresentasikan oleh Sufi, sebagai elit popular
Islam, dan ulama, sebagai representasi kecenderungan formal agama. Dua kelompok
beragama ini selalu berebut kekuasaan dan berusaha untuk menjadi pemimimpin
umat. Sebagai kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner memetakan mereka
ke dalam dua kubu: Sufi, di satu sisi, merupakan kubu agama yang lebih
mementingkan social cohesion sebagai inti kekuatannya yang berbasis di
desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan di kota (urban)
dan cenderung lebih profesional dan rasional namun lemah ikatan sosialnya.
Dalam pertarungan politik agama dua kekuatan yang
berbeda basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul jam (pendulum) yang
akan bergoyang kembali ke sisi lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya.
Untuk menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun yang berkeyakinan
bahwa sesungguhnya pusat peradaban Islam itu berpusat di kota (madinatul
munawarah). Namun kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari kekuatan
massa yang mempunyai social cohesion yang kuat. Menurut Ibn Khaldun
kekuatan massa Islam desa yang didukung oleh social cohesion akan dapat
mengantarkannya ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun lagi, setelah
kekuatan massa rural itu sampai ke pusat kekuasaan, ia akan mengalami
fragmentasi sosial sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia akan
dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural area yang mempunyai social
cohesion lebih besar. Analisis Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung
kajian-kajian kelembagaan agama Islam maupun karakteristiknya baik yang di kota
maupun di desa untuk memprediksi kelanjutan proses perjalanan sejarah Islam.
Analisis yang demikian ini juga dapat digunakan untuk
melihat organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan percaturan
politik umat. Misalnya apakah naiknya Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke
panggung kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu hasil dari kekuatan massa yang
mempunyai social cohesion yang kuat menggantikan massa modernis di kota
yang telah dilanda fragmentasi yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya,
tipe-tipe organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara mendalam.
Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan
pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, “Religion
as a Cultural System“, dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama.
Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg
pada teori-teori besar Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori
fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian
agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang
mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang
menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan
bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter
masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru,
tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam.
Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai: “A system of symbols
which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and
motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with
such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic.”
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok
kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang
pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik.
Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle)
untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai
keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan
konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda;
pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya
ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu eksistensi
agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic
order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan
pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan
perilaku manusia. Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti
tentang agama dalam satu masyarakat.
Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of
Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita
bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java
memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga
bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik
maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed
ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk
memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai
perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.
Penutup
Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam
secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Kajian semacam
Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan pergumulan Islam dengan
budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang memuaskan. Buku The
Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar keberagaman
Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk
menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak homework
untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat
lokal untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.
Ira M. Lapidus juga menekankan dalam karya-karyanya
untuk melihat keberagaman itu. Ia membagi periode Islam ke dalam beberapa
periode yang ia sebut sebagai periode perkembangan paradigma melihat Islam. Ia
mengakui bahwa kenyataan pemeluk Islam yang terdiri dari berbagai lapis budaya
mencerminkan suatu curiosity (penasaran) untuk meneliti lebih lanjut.
Yang jelas, kata Lapidus, di balik semua keberagaman itu Islam di daerah-daerah
Muslim berfungsi sebagai pemersatu budaya. Namun yang lebih penting dari itu
adalah bagaimana kita menjelaskan suatu rangkain knowledge yang utuh
akan adanya Islam lokal itu.
Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan
pengikut-pengikut Islam menerjemahkan Islam ke dalam visi-visi kedaerahan.
Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu perjalanan untuk
menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret
sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan
Islam.
Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat
kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam
upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya
berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan
Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local
discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan
budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang
local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya
pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang
tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti
digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh
Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam
mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan
tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia.
Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa
realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di
sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu
yang mengkhususkan diri mempelajari manusia―yang merupakan realitas empiris
agama―maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.[]